Menjadi Pahlawan Nasional di Negeri Pelupa
Dalam artikel "Ajal Dua Jenderal dan Epos Lain yang Tak Tercatat", kita sudah melihat kisah kepahlawanan para pejuang yang tak tercatat terang dalam sejarah. Kisah di balik nama-nama yang sejatinya amat layak diangkat sebagai pahlawan nasional. Memang, seperti apa mekanisme penetapan gelar pahlawan nasional di negeri ini? Apa keuntungan yang didapat oleh seorang pahlawan nasional? Ini dia, artikel ketiga dari Tulisan Seri khas VOI, "Menjadi Pahlawan Nasional".
Di Indonesia, jalan sebuah nama untuk menjadi pahlawan nasional biasa diinisiasi oleh organisasi-organisasi di daerah. Organisasi biasanya akan mengajukan sebuah nama kepada pemerintah daerah, baik itu bupati, wali kota, atau gubernur. Nantinya, pemerintah daerah yang akan membawa usulan nama itu untuk diproses di Kementerian Sosial (Kemensos).
Namun, sebelum pengajuan ke pemerintah daerah, biasanya organisasi pengusul terlebih dulu melakukan kajian dan gelar uji publik. Hasil kajian dan uji publik yang wajib melibatkan sejarawan dan akademisi atau masyarakat berpengetahuan itu kemudian disusun menjadi jurnal. Jurnal itu nantinya diserahkan pada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) untuk dipelajari. Jika lolos pengkajian oleh TP2GD, jurnal tersebut akan diserahkan kepada pemerintah daerah.
"Harus dikaji dulu oleh mereka. Setelah dikaji TP2GD dan berkas semuanya, termasuk foto, dokumen perjuangan itu diverifikasi oleh TP2GD, baru diusulkan ke pusat oleh gubernur pada Kemensos," tutur Dirjen Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2RS) Kementerian Sosial Bambang Sugeng saat kami hubungi, Selasa, 19 November.
Menurut Bambang, penetapan gelar pahlawan nasional sejatinya telah diatur dalam mekanisme berpayung hukum di Kemensos. Payung hukum utama dari perkara ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Dalam UU 20/2009 diatur sejumlah syarat yang wajib dipenuhi dalam setiap pengajuan nama calon pahlawan nasional.
"Dalam Pasal 25 dan Pasal 26, ada dua syarat, yaitu syarat umum dan khusus," tutur Bambang.
Merujuk UU 20/2009, yang terklasifikasi sebagai syarat umum di antaranya adalah calon pahlawan merupakan warga negara Indonesia atau orang yang berjuang di wilayah yang kini menjadi wilayah NKRI. Nama itu juga harus memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, serta setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Syarat lainnya, nama tersebut tak boleh terlibat dalam pidana dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun.
Sedang syarat khusus, UU mengamanatkan sejumlah syarat, yakni:
1. Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
2. Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan;
3. Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;
4. Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
5. Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa;
6. memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi;
7. Dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Presiden penentu gelar
Setelah menerima nama calon pahlawan nasional dari pemerintah daerah, Kemensos akan melakukan verifikasi. Dalam tahap itu, Kemensos bekerja bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang diisi praktisi, akademisi, sejarawan, hingga perwakilan instansi dan masyarakat berpengetahuan. Mereka adalah nama-nama yang ditunjuk langsung oleh Menteri Sosial. Verifikasi dilakukan pada perkara administratif dan observasi lapangan.
"Apakah benar dokumen yang diusulkan dan kenyataan perjuangannya yang bersangkutan. Nanti di lapangan mereka (tim) akan ketemu tokoh, keluarga, dan menemukan dokumen. TP2GP juga mempelajari sejarah, baik lewat museum di kita maupun di Belanda," tutur Bambang.
Dalam pekerjaannya, TG2GP memiliki waktu sekitar delapan bulan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Waktu itu dihitung dari bulan Maret di mana Kemensos biasa menerima usulan hingga November, waktu di mana presiden biasa mengangkat calon-calon penerima gelar.
"Setelah itu, tim melakukan rapat koordinasi untuk membahas masing-masing calon pahlawan yang diusulkan. Dasarnya adalah temuan di lapangan dan temuan berdasarkan buku sejarah dan informasi yang ada," kata Bambang.
Jika ada masalah --soal verifikasi dan data yang belum lengkap misalnya, nantinya TP2GP akan memberi rekomendasi pada Kemensos untuk mengembalikan data ke pemerintah daerah untuk dilengkapi. "Kita kembalikan lagi ke daerah. Baru nanti daerah usulkan lagi (usai dilengkapi)," Bambang.
Jika proses pengkajian dan verifikasi rampung dilakukan Kemensos, selanjutnya usulan itu akan ditindaklanjuti oleh presiden sebagai penentu akhir pemberian gelar pahlawan nasional. Meski merupakan hak prerogatif kepala negara, presiden tetap harus melalui diskusi bersama Dewan Gelar untuk menetapkan pemberian gelar pahlawan nasional.
Perhatian untuk pahlawan nasional
Setiap orang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional akan mendapat sejumlah hak istimewa. Berdasar UU 20/2009, pahlawan nasional berhak mendapat penghormatan dan penghargaan. Seperti peringatan Hari Pahlawan Nasional yang diperingati 10 November di setiap tahun, misalnya.
Selain itu, pahlawan nasional yang sudah meninggal juga akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Makam ini akan diurusi sepenuhnya oleh negara nantinya. "Kita memelihara makamnya. Dipelihara negara," kata Bambang.
Bagi pahlawan nasional yang belum dimakamkan di TMP, mereka mendapat hak pemindahan jasad ke TMP. Pemindahan itu nantinya dilakukan lewat prosesi kenegaraan yang diakomodir pemerintah melalui Kemensos.
Selain simbol-simbol penghormatan, setiap pahlawan nasional atau ahli warisnya berhak atas santunan sebesar Rp50 juta per tahun. Hak ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2018.
Sayang, ketika ditanya angka tersebut dapat mengalami kenaikan atau tidak, Bambang menjawab: Oh, enggak. Ya, segitu. Kalau ada kenaikan kan perpresnya diubah. Kita sih berusaha juga. Tapi, kalau ada kenaikan, harus ubah Perppres.
Artikel Selanjutnya: "Garis Rezim dan Para Pahlawan Nasionalnya"