Lanjutan dari Tulisan Seri khas VOI, "Menjadi Pahlawan Nasional". Dalam artikel "Mayjen Sungkono dalam Memori Kolektif Bangsa yang Ingin Besar", kita sudah membahas bagaimana perjuangan besar Mayjen Sungkono tenggelam dan terlupakan. Dalam artikel ini, kita cari tahu pahlawan-pahlawan bernasib sama dengan Sungkono. Jangan-jangan, bangsa yang bercita-cita jadi besar ini memang tak begitu pandai mencatat jasa pahlawan dalam memori kolektifnya.
Hari menjelang malam, ketika kericuhan terjadi di sekitar Internatio, 30 Oktober 1945. Kesepakatan antara Presiden Sukarno dan Inggris --sebagai perwakilan sekutu-- untuk menghentikan tembak menembak tak meredakan 'pertempuran' antara pasukan sekutu dengan rakyat Indonesia dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Di tengah kericuhan, rombongan perwakilan Indonesia, Residen Soedirman dan Cak Doel Arnowo yang juga menjabat Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) menggelar pertemuan di dalam Internatio. Di sana, mereka hendak menemui perwira tinggi Inggris, Jenderal Aubertin walter Sothern Mallaby.
Pertemuan sejatinya akan membahas kontak senjata yang tetap terjadi meski kesepakatan telah dibuat antara Presiden Sukarno dan tentara sekutu. Namun, Jenderal Mallaby urung memasuki gedung karena para pemuda dalam rombongan Indonesia menginginkan Kapten Shaw, seorang perwira muda, untuk mewakili Inggris dalam perundingan.
Jenderal Mallaby pun menunggu di dalam mobil. Dari dalam kabin, Jenderal Mallaby jadi saksi naik turunnya tensi pertempuran di sekitar Internatio. Keadaan yang mulai mereda kembali terbakar ketika sebuah granat dilempar dari dalam gedung. Lemparan granat itu disambut oleh letusan senjata dari luar gedung.
Peluru Abdul Azis untuk Jenderal Mallaby
Beberapa saat, sekitar pukul 20.30 malam, situasi kembali mereda. Intensitas baku tembak mulai menurun. Namun, justru itu lah detik-detik terakhir hidup Jenderal Mallaby sekaligus momen kemunculan seorang pahlawan tak tercatat terang dalam sejarah: Abdul Azis. Ia adalah pejuang yang tergabung dalam Pemuda Rakyat Indonesia (PRI).
Saat baku tembak reda, Jenderal Mallaby melihat keadaan sekitar dengan melongok ke luar mobil. Saat itu lah Abdul Azis diam-diam menghampiri mobil yang ditumpangi Jenderal Mallaby dan dua perwira Inggris lainnya. Tembakan pun dilepaskan. Peluru melesat tepat ke arah Jenderal Mallaby yang konon meregang nyawa dalam waktu 15 hingga 30 detik.
Sadar pelurunya berhasil menghabisi Jenderal Mallaby, Abdul Azis melapor kepada Cak Doel Arnowo. "Wes, Cak. Wes tak beresno (Sudah, Cak. Sudah saya bereskan)," tutur anak Abdul Azis, Muhammad Chotib menirukan penuturan ayahnya, sebagaimana dikutip historia.id.
Tak banyak yang mengetahui kisah ini. Namun, keterangan Chotib diyakini otentik. Peneliti sejarah, Ady Erlianto Setyawan mengatakan, kisah Abdul Azis dan kematian Jenderal Mallaby juga pernah dituturkan oleh Amak Altuwy, jurnalis yang juga saksi mata dalam kericuhan pada malam kematian Mallaby.
Kisah itu dituturkan Altuwy saat para pelaku pertempuran Surabaya masih hidup. Selain itu, kisah Abdul Azis juga dimasukkan di dalam buku 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia oleh Brigjen Barlan Setiadijaya. Buku itu dikenal sebagai studi tentang pertempuran Surabaya yang paling komprehensif.
“Kalau dia (klaim Abdul Azis) bohong, pasti tokoh-tokoh macam Ruslan Abdulgani yang juga ada di TKP saat Mallaby terbunuh akan buka suara. Dan orang selevel Brigjen Barlan Setiadijaya enggak akan memasukkan kisah itu ke dalam buku dia,” kata Ady masih ditulis historia.id.
Sebelumnya, kematian Jenderal Mallaby dikisahkan dalam banyak versi. Selain kisah tentang peluru-peluru tak bernama, Jenderal Mallaby juga sempat dikisahkan mati akibat granat meleset yang dilemparkan anak buahnya sendiri. Kisah tentang granat itu ditulis JGA Parrot dalam Who Killed Brigadier Mallaby (1975).
Yang jelas, kematian Jenderal Mallaby jadi coreng paling besar dalam 'kunjungan' Inggris di Indonesia. Peristiwa itu juga diyakini sebagai pemantik perang besar Surabaya satu bulan setelahnya, November 1945.
Kematian jenderal lain, kelahiran pahlawan lain
Kisah lain terkait peperangan 10 November di Surabaya. Tentang pahlawan tak tercatat lainnya. Ia adalah Goemoen, seorang anggota Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia (BPRI). Goemoen dikisahkan sebagai sosok di balik kematian Jenderal Robert Guy Loder Symonds.
Jenderal Symonds adalah seorang komandan detasemen artileri tentara Inggris di Surabaya. Jenderal Symonds terpaksa turun ke lapangan akibat sengitnya pertempuran Surabaya. Dalam pertempuran hari itu, Jenderal Symonds berniat memantau situasi pertempuran dari udara.
Ia pun lepas landas dari Bandara Morokembangan dengan menumpang pesawat pengintai Mosquito. Usai lepas landas, pesawat yang ditumpangi Jenderal Symonds mendapat gangguan dari daratan. Pesawatnya ditembaki oleh arek-arek Surabaya hingga jatuh di sekitar landasan Bandara Morokembangan.
Menurut Barlan Setiadijaya dalam Merdeka atau Mati di Surabaya (1985), tembakan arek Surabaya bernama Goemoen lah yang membuat pesawat Jenderal Symonds jatuh. Diceritakan, pagi itu, Goemoen melihat pesawat Mosquito melintas di dekatnya. Goemoen pun mengambil sebuah meriam bekas tentara Jepang dari gudang senjata Don Bosco.
Jenderal Symonds terjebak dalam badan pesawat yang terbakar. Jasadnya kemudian dikebumikan di Surabaya, sebelum dipindahkan ke Commonwealth War Cemetery Blok V, Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Ia dimakamkan tepat di sebelah pusara Letnan Osborne, pilot penerbang pesawat mosquioto nahas yang tewas bersamanya.
Kematian dua jenderal penting jadi aib besar bagi Inggris. Aib yang sekaligus mengungkit nama arek Surabaya dalam pertempuran dahsyat. Bukan apa-apa. Inggris datang ke Indonesia dengan jemawa, dengan pasukan Gurkha kebanggaan mereka. Namun, Mayjen Sungkono, Abdul Azis, dan Goemoen serta ribuan arek Surabaya lain berhasil menggencet habis satuan pemenang perang dunia kedua itu.
Artikel Selanjutnya: "Menjadi Pahlawan Nasional di Negeri Pelupa"