Kecam Eksekusi Publik dan Hukuman Fisik Taliban, PBB Serukan Penghentian Segera
JAKARTA - PBB mengutuk Taliban atas pelaksanaan eksekusi publik, pencambukan dan rajam sejak pengambilalihan Afghanistan pada tahun 2021, dalam sebuah laporan pedas yang dirilis pada Hari Senin.
Laporan tersebut menyerukan penghentian segera praktik-praktik semacam itu, dengan mengatakan sistem hukum Afghanistan "gagal melindungi pengadilan yang adil dan jaminan proses hukum".
Dalam enam bulan terakhir, PBB mengatakan 274 pria dan dua anak laki-laki telah dicambuk di depan umum terkait berbagai pelanggaran, termasuk hubungan seksual terlarang, melarikan diri dari rumah, pencurian, homoseksualitas, mengonsumsi alkohol, penipuan dan perdagangan narkoba, melansir The National News 9 Mei.
PBB mengatakan, penggunaan hukuman fisik "meningkat secara signifikan" setelah Zabihullah Mujahid, juru bicara otoritas Taliban, men-tweet pada tanggal 13 November tahun lalu, bahwa pemimpin tertinggi kelompok ini telah bertemu dengan para hakim untuk menekankan kewajiban mereka untuk melaksanakan hukuman tersebut.
Hukuman yang dijatuhkan termasuk pencambukan, pemukulan, amputasi dan eksekusi dengan cara ditembak, dipenggal dan digantung.
Fiona Fraser, kepala hak asasi manusia untuk Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) mengatakan, hukuman fisik merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan - di mana Afghanistan merupakan salah satu negara yang menandatanganinya - dan harus dihentikan.
Ia menambahkan, badan dunia tersebut sangat menentang hukuman mati dan meminta Taliban untuk melakukan "moratorium segera" terhadap eksekusi.
UNAMA mencatat bahwa hukuman ini bukanlah hal yang baru. Dimulai pada tahun 2005, ketika Taliban memperluas kontrolnya di berbagai wilayah, mereka membentuk sistem peradilan alternatif di daerah-daerah tersebut, memberlakukan hukuman seperti cambuk, amputasi dan eksekusi dengan tujuan untuk memberikan kontrol yang lebih besar, menegakkan kepatuhan yang ketat terhadap interpretasi Taliban terkait Syariah.
Misi ini juga memperingatkan, penolakan Taliban untuk memberikan izin kepada pengacara perempuan dan pengucilan hakim perempuan dari sistem peradilan berdampak negatif terhadap perempuan dan anak perempuan.
Diketahui, pencambukan pertama di depan umum oleh Taliban didokumentasikan pada Oktober 2021 di provinsi Kapisa utara, menurut laporan itu.
Hukuman tersebut diberikan kepada seorang pria dan wanita yang dinyatakan bersalah atas perzinahan, dengan keduanya menerima 100 kali cambukan di hadapan para pejabat Taliban dan ulama setempat.
Pada Desember 2022, otoritas Taliban melakukan eksekusi publik pertama mereka sejak merebut kekuasaan, menghukum mati seorang warga negara Afghanistan yang dihukum karena pembunuhan.
Baca juga:
- Tiga Komandan Senior Kelompok Bersenjata Palestina dan Warga Sipil Tewas dalam Serangan Israel ke Gaza
- Mulai Terima Amunisi yang Dibutuhkan, Bos Tentara Bayaran Grup Wagner Rusia: Pertempuran Sengit Sedang Berlangsung
- Temui Dubes AS, Menlu China Qin Gang: Prioritas Utama Adalah Menstabilkan Hubungan
- Presiden Zelensky Pindahkan Perayaan Kemenangan Atas Nazi, Kremlin Sebut 9 Mei Tetap Sakral
Eksekusi tersebut dilakukan oleh ayah korban sendiri.
"Selama Taliban menunjukkan penghinaan terhadap hukum hak asasi manusia internasional, praktik-praktik biadab ini akan terus berlanjut," tegas Patricia Grossman, direktur Human Rights Watch Asia.
Ia pun mendesak pemerintah yang terlibat dengan Taliban, termasuk anggota Dewan Keamanan PBB, untuk mendesak diakhirinya "pelanggaran-pelanggaran ini dan menegaskan sanksi internasional akan tetap berlaku dan dapat diperluas, jika pelanggaran-pelanggaran ini terus berlanjut".