Ekonom Indef: Krisis Perbankan di AS Tak Berdampak Signifikan ke Indonesia

JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan krisis perbankan Amerika Serikat (AS) tak berdampak signifikan terhadap perbankan Indonesia.

“Kalau krisis perbankan AS transmisinya ke perbankan kita masih sangat jauh ya, apalagi untuk BPD (Bank Pembangunan Daerah),” kata Abdul Manap dalam diskusi Indef, dikutip dari Antara, Senin 8 Mei.

Menurut dia, dampak krisis perbankan AS terhadap RI lebih akan terasa pada harga saham perbankan yang telah melakukan penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO).

Sementara untuk dampak secara menyeluruh, ia meyakini pengaruhnya tak akan signifikan.

Abdul Manap menjelaskan, skema yang mungkin terjadi terkait dampak krisis perbankan AS adalah transmisi nilai tukar rupiah. Ketika nilai tukar terdepresiasi, nilai imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) akan makin mahal sehingga membuat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membesar.

Ketika APBN mengalami tekanan, ada kemungkinan anggaran untuk perbankan, termasuk perbankan daerah, akan berkurang.

Meski skema tersebut terjadi, lanjut Abdul Manap, proses transmisinya berlangsung panjang dan tidak memiliki pengaruh besar pada perbankan dalam negeri.

Di sisi lain, perbankan AS yang mengalami krisis memiliki nilai aset yang terbilang kecil, yakni sekitar 500 miliar dolar AS. Sedangkan Indonesia pernah menghadapi krisis yang lebih besar dan masih bisa tumbuh sekitar enam persen.

“Jadi, saya pikir untuk dampak gejolak perbankan AS ke perbankan Indonesia itu tidak akan signifikan, apalagi BPD. BPD skala bisnisnya juga lebih untuk pembiayaan lokal, terlebih pembiayaan untuk PNS (Pegawai Negeri Sipil),” ujar Abdul Manap.

Selain industri perbankan, Abdul Manap berpendapat krisis moneter di AS tak akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Dia menjelaskan terdapat empat faktor depedensi Indonesia terhadap AS, yakni perdagangan, Penanaman Modal Asing (PMA), sektor moneter, dan sektor fiskal.

Namun, dari keempat faktor tersebut, Indonesia tak memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap AS. Meski begitu, Abdul Manap mengatakan tetap ada efek yang dirasakan oleh Indonesia yang bisa diwaspadai.