Kebangkrutan Silicon Valley Bank Berdampak ke Indonesia?
Ilustrasi Rupiah (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Bank asal Amerika, Silicon Valley Bank (SVB) diberitakan mengalami kebangkrutan. SVB terpaksa kolaps atau bangkrut setelah 48 jam mengalami krisis modal pada Jumat 10 Maret.

Mantan Assistant Vice President (AVP) PT Bank Negara Indonesia (BNI) sekaligus pengamat perbankan, Paul Sutaryono mengatakan, jatuhnya SVB menjadi peringatan dini bagi industri perbankan global.

"Untuk apa? Untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global," ujarnya kepada VOI, Selasa 14 Maret.

Paul menambahkan, peringatan dini itu juga berlaku bagi industri perbankan nasional. Apakah jatuhnya SVB akan berdampak bagi bank-bank di Indonesia?

Ia menjabarkan, kondisi likuiditas perbankan nasional saat ini tampak kokoh. Hal itu tampak dari rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) 129,64 persen per Januari 2023.

"Meskipun rasio itu turun dari 137,67 persen per Desember 2022 namun masih jauh di atas ambang batas 50 persen," beber Paul.

Demikian pula alat likuid atau dana pihak ketiga (DPK) 29,13 persen per Januari 2023. Paul bilang, meski rasio itu turun dari bulan sebelumnya 31,20 persen tetapi masih jauh di atas ambang batas 10 persen.

"Permodalan perbankan nasional juga masih perkasa yang tampak pada rasio capital adequacy ratio (CAR) 25,93 persen per Januari 2023. Rasio itu menguat dari bulan sebelumnya 25,63 persen per Desember 2022," bebernya.

Meski demikian, lanjutnya, bank di Indonesia juga harus meningkatkan pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Ini penting untuk mampu mengantisipasi hal-hal yang tak terduga. Mis "ledakan" ketika restrukturisasi kredit dilepas OJK pada Maret 2024.

"Di sisi lain, OJK dan BI hendaknya tetap wajib meningkatkan kewaspadaan terhadap peristiwa jatuhnya SVB yang pernah menduduki top 16 bank di AS," kata Paul.

Senada dengan Paul, Ekonom BCA David Sumual menjelaskan jika kebangrkutan SVB hanya sedikit pengaruhnya ke volatilitas pasar modal global, terutama Indonesia.

"Saya pikir ini masalah yang terisolasi di perbankan AS. Dampaknya tidak signifikam ke ekonomi RI," kata David kepada VOI, Selasa 14 Maret.

Menurut David, secara institusional Indonesia sudah lebih baik psaca krisis 1997. Meski demikian, David berpesan jika apa yang terjadi pada SVB dapat menjadi studi kasus untuk para pengambil kebijakan moneter dan keuangan Indonesia agar permodalan bank tidak fokus pada sumber yang berasal dari satu sektor saja.

"Mungkin ini bisa menjadi study case juga buat bank nasional dalam memanage balance sheetnya. Bisnis SVB and depositnya terlalu terkonsentrasi di start up," pungkasnya.