Kadin: Indonesia Penjamin Obligasi dan Sukuk Hijau Tertinggi
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan, Indonesia mampu memaksimalkan sukuk hijau (green sukuk) untuk mewujudkan keuangan hijau atau green financing.
Deputi Perbankan Syariah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Banjaran Surya Indrastomo mengatkan, sukuk hijau merupakan instrumen investasi berupa obligasi atau underlying asset yang berbasis prinsip syariah dengan tujuan untuk mendukung proyek-proyek ramah lingkungan serta berkelanjutan.
“Indonesia merupakan penjamin obligasi sukuk hijau tertinggi, dalam konteks ini, karena bagaimanapun mayoritas populasi Indonesia merupakan Muslim. Kita memiliki kesempatan dan peluang untuk mewujudkan green financing, salah satunya dengan sukuk hijau,” kata Banjaran mengutip Antara.
Sukuk hijau dirancang untuk mendukung konsep keuangan hijau atau green financing, yang berarti dukungan secara menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Banjaran menjelaskan, sukuk hijau merupakan salah satu instrumen keuangan yang mempunyai potensi dalam mendorong berkelanjutan lingkungan. Hal tersebut dikarenakan likuiditas sukuk hijau terbilang masih terjaga.
Baca juga:
“Sukuk hijau ini dapat jadi salah satu alat untuk berkontribusi pada proyek hijau yang dijalankan pemerintah, juga akan dapat manfaatnya dari investasi yang ditanamkan, baik finansial maupun manfaat kelestarian lingkungan untuk masa depan, Indonesia sedang mencoba untuk memimpin perkembangan ini, dan saya kira salah satu peluang kita bisa mendorong perkembangan ini dari green corporate sukuk dan green sukuk,” ujarnya pula.
Indonesia menerbitkan sukuk hijau pertama pada Maret 2018. Sukuk hijau itu berjangka waktu lima tahun dengan nilai 1,23 miliar dolar AS atau setara Rp16,75 triliun AS yang akan jatuh tempo pada 2023.
Transaksi tersebut dapat dibilang merupakan transaksi sukuk hijau pertama di dunia, dengan persentase investor tercatat 32 persen dari pasar Islam, 25 persen dari pasar Asia, 15 persen dari pasar Uni Eropa, 18 persen dari AS, dan 10 persen dari Indonesia.