Implementasi Program Merdeka Belajar Perlu Dievaluasi
JAKARTA – Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi hal mutlak. Perlu cara-cara dan nilai-nilai baru untuk menjawab tantangan zaman yang berubah begitu cepat saat ini. Jangan sampai terjebak dalam rutinitas yang monoton.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berulangkali melontarkan pernyataan itu. Ketika menuliskan ‘Impian Indonesia 2015-2085’ pada 30 Desember 2015, dia menempatkan pembangunan SDM di urutan nomor satu.
Presiden ingin kecerdasan sumber daya manusia Indonesia mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Sehingga nantinya Indonesia dapat menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban serta menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
“Kita ingin Indonesia menuju tahun 2045 menjadi negara maju dan salah satu 5 kekuatan ekonomi dunia dengan kualitas manusia yang unggul serta menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih baik dan merata, serta ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan yang kuat dan berwibawa,” kata Jokowi dalam pejabaran visi-misinya.
Mewujudkan itu tentu tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama. Jokowi mengatakan, “Kita perlu endowment fund yang besar untuk manajemen SDM kita. Kerjasama dengan industri juga penting dioptimalkan. Juga penggunaan teknologi yang mempermudah jangkauan ke seluruh pelosok negeri.”
“Jangan lagi kerja kita berorientasi pada proses, tapi harus berorientasi pada hasil, hasil yang nyata,” ucapnya.
Sehingga, pembelajaran berbasis pemecahan masalah, berbasis proyek, dan pembelajaran berbasis portofolio menjadi sangat penting dikedepankan, dibanding sekadar mengandalkan sisi proses dan proses pembelajaran.
Menteri Nadiem Makarim menjabarkannya lewat konsep Merdeka Belajar. Menciptakan sistem dan budaya pembelajaran serta pengajaran yang lebih efektif, pro-aktif, kreatif, inovatif, mandiri, kontekstual dan emansipatoris, serta senafas dan sebangun dengan perubahan global di dunia pendidikan saat ini.
Dalam konsep ini, seluruh pemangku kepentingan, khususnya institusi pendidikan dan guru diharapkan menjadi agen perubahan. Mereka bebas berinovasi untuk menggali potensi yang ada pada guru, sekolah, dan peserta didik dalam meningkatkan kualitas personal.
Nadiem dalam pidatonya pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2023 mengklaim konsep tersebut yang saat ini sudah masuk episode 24 telah berhasil membawa perubahan besar.
Membawa dunia pendidikan Indonesia semakin dekat dengan cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang menuntun bakat, minat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan sebagai anggota masyarakat.
“Anak-anak kita sekarang bisa belajar dengan lebih tenang karena aktivitas pembelajaran mereka dinilai secara lebih holistik oleh gurunya sendiri,” kata Nadiem.
Para kepala sekolah dan kepala daerah yang dulu kesulitan memonitor kualitas pendidikan sekarang dapat menggunakan data asessment Nasional di platform rapor pendidikan untuk melakukan perbaikan kualitas layanan pendidikan. Begitupun para guru. Dulu diikat berbagai peraturan yang kaku, sekarang lebih bebas berinovasi di kelas.
Seleksi masuk perguruan tinggi negeri pun sekarang fokus pada ukuran kemampuan literasi dan penalaran.
“Layar yang sudah kita bentangkan jangan sampai terlipat lagi. Perjalanan harus kita lanjutkan, perjuangan mesti kita teruskan agar semua anak bangsa merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya dalam belajar dan bercita-cita,” imbuh Nadiem.
Terlalu Berlebihan
Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Mansur mengakui Merdeka Belajar tentu merupakan konsep yang baik. Tujuannya mencapai pendidikan berkualitas melalui transformasi terhadap 4 hal, yakni infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan untuk kepemimpinan, serta kurikulum pedagogis dan penilaian (asesmen).
Namun, terlalu berlebihan bila dikatakan itu sudah berhasil secara merata. Realitasnya, masih banyak institusi pendidikan yang merasa bingung dalam menerapkan Merdeka Belajar karena sosialisasi tidak masif dan tidak secara serentak. Sehingga, kadang terjadi kekeliruan dalam menjabarkan konsep Merdeka Belajar dalam setiap episodenya.
“Misal episode awal masuk ke perguruan tinggi, episode selanjutnya masuk ke pendidikan menengah, pendidikan dasar, lalu balik lagi ke perguruan tinggi. Kadang karena sosialisasi, pelaksanaan di salah satu episode bisa saja menghambat pelaksanaan episode lainnya,” kata Mansur kepada VOI pada 2 Mei 2023.
Sebagai contoh, episode 4 mengenai penunjukan organisasi penggerak, dan episode 5 mengenai penunjukan guru penggerak yang terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Ini cukup membingungkan bagi sejumlah institusi pendidikan dan para guru, bahkan sempat menimbulkan reaksi ketidakpercayaan publik, khususnya dalam proses rekrutmen hingga model implementasinya. Belum lagi permasalahan infrastruktur dan teknologi.
“Jadi, pidato Mas Menteri hanya menyinggung keberhasilan-keberhasilan dalam tataran konsep, tetapi Mas Menteri tidak menjabarkan sudah seberapa jauh konsep-konsep ini berhasil mengubah paradigma pembelajaran yang ada di sekolah. Misalnya ada ribuan sekolah, ada berapa puluh atau ratus sekolah yang berhasil memberikan pembelajaran sesuai paradigma model Merdeka Belajar. Ini yang harusnya menjadi perhatian,” tuturnya.
Mansur menilai tetap harus ada evaluasi. Kemendikbud-Ristek perlu berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang masif dan berkualitas untuk para kepala sekolah dan pendidik.
“Sehingga, sosialisasi dapat dilakukan secara terstruktur pada akhirnya tujuan dari konsep Merdeka Belajar dapat diterima secara utuh. Hakikatnya, Merdeka Belajar adalah konsep bagus. Jauh memiliki kelebihan dari kurikulum sebelumnya, tinggal implementasinya saja yang perlu dievaluasi,” imbuhnya.