Johan Budi Ungkap Pemerintah Terkesan Setengah Hati Revisi UU tentang ASN dan Guru Honorer
JAKARTA - Anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan Johan Budi menilai pemerintah terkesan setengah hati dalam melakukan revisi terhadap UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), khususnya tenaga honorer. Pernyataan tersebut dia lontarkan saat Komisi X melakukan rapat kerja dengan pemerintah pada hari ini Senin, 18 Januari.
“Dari penjelasan yang panjang lebar tadi, saya melihat pemerintah sebenarnya menolak ini direvisi,” ujarnya menanggapi pemaparan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo di kompleks parlemen Senayan, Jakarta.
Menurut Budi, revisi UU ASN yang diinisiasi oleh DPR ini merupakan bagian dari fokus lembaga legislatif untuk menyelesaikan sengkarut pekerja honorer yang selama ini belum menemukan titik terang.
“Sebenarnya kami di komisi ini waktu itu concern-nya adalah bagaimana menyelesaikan (persoalan) tenaga honorer,” tuturnya.
Bahkan, kolega Menpan RB di PDI Perjuangan tersebut mengungkapkan persoalan pekerja honorer dapat diselesaikan pada tingkat pemerintah, serta tidak perlu melibatkan unsur DPR.
“Apakah itu dikeluarkan PP (Peraturan Pemerintah) atau regulasi di tingkat menteri, seperti ketetapan menteri,” ucapnya.
Budi berharap penyelesaian masalah tenaga honorer bisa rampung sebelum pergantian pimpinan negara beberapa tahun mendatang.
Baca juga:
“Di bawah kepemimpinan Pak Menpan RB sekarang ini saya berharap bisa selesai menjelang 2024,” katanya.
Sebagai informasi, DPR sebagai lembaga tinggi negara menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) untuk masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.
Pembaharuan beleid tersebut diharapkan dapat mengakomodir keinginan jutaan tenaga honorer yang masuk kategori 2 (K-2) memperoleh status kepegawaian yang jelas. Sebab, pekerja K-2 tersebut berharap untuk dapat diangkat menjadi ASN, sementara pemerintah belum kunjung memberikan kepastian akan hal tersebut.
Sebagai jalan tengah, DPR lalu mengajukan apa yang disebut dengan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sebagai solusi.