Review Film Buya Hamka, Lambat tapi Memikat
JAKARTA - Setelah tertahan hampir empat tahun lamanya, akhirnya Buya Hamka siap tayang menjelang Hari Raya Idul Fitri pada 19 April mendatang. Film karya Fajar Bustomi ini dibagi menjadi tiga bagian agar bisa menghadirkan rasa yang terbaik untuk penontonnya.
Bagian pertama dimulai dari masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka berjuang dengan mengembangkan Muhammadiyah di Makassar. Setelah itu, Buya pindah ke Medan untuk menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat. Sementara istri dan anaknya tinggal di Padang Panjang.
Lewat Pedoman Masyarakat, Buya menggelorakan semangat untuk merdeka. Dia juga menulis kisah Di Bawah Lindungan Ka'bah di fase ini. Saat Jepang datang, Pedoman Masyarakat dianggap berbenturan dengan kepentingan Jepang hingga membuat medianya harus ditutup karena dianggap berbahaya.
Perjuangan Buya terguncang ketika salah satu anak mereka meninggal dunia. Selain itu, usahanya mendekati Jepang untuk menyelamatkan ulama yang ditahan membuatnya dianggap penjilat dan dimusuhi sehingga ia pun diminta diminta mengundurkan diri dari jabatanya sebagai pengurus Muhammadiyah.
Buya Hamka volume pertama juga menghadirkan Soekarno. Hingga reaksi Buya yang signifikan ketika Belanda mencoba masuk kembali setelah Indonesia merdeka.
Menyaksikan film Buya Hamka seperti membaca roman kisah hidupnya. Penulis Alim Sudio dan Cassandra Massardi tidak terburu-buru dan meringkas berbagai hal penting yang pernah dialami Buya baik sebagai seorang penulis, ulama, suami, dan ayah bagi anak-anaknya. Masa senang, sedih, semangat berjuang, duka, hingga putus asa yang pernah dialami Buya Hamka ditampilkan silih berganti dengan hati-hati.
Kehadiran Laudia Chyntia Bella yang berperan sebagai Siti Raham, istri Buya Hamka memberi warna besar di volume pertama ini. Motivasi untuk berkarya dan berpindah diinisiasi oleh Siti Raham. Istrinya pula yang menjadi inspirasi menulis romah Di Bawah Lindungan Ka'bah.
Fajar Bustomi menunjukkan romantisme hidup Buya dan Siti dengan cara yang tak biasa. Jika Buya suka memuji Siti dengan pantun, maka Siti mencintai Buya dengan sedikit kata manis namun banyak perbuatan yang tidak membutuhkan banyak cakap. Kopi, baju rapi, sajadah, dan ketabahannya merawat anak-anak menjadi bukti cintanya yang kuat nampak berhasil divisualkan dengan indah.
Sayangnya, ini juga yang membuat film Buya Hamka terasa lambat. Karena tidak semua adegan diberi penjelasan secara lisan. Seperti sebuah roman yang panjang, kisahnya mengalir dengan perlahan.
Baca juga:
Namun, setting tempat, juga karakter setiap pemain menjadi daya pikat utama. Detail kostum dan properti memudahkan penonton untuk memasuki perubahan tahun di masa hidup Buya Hamka. Apalagi deretan pemain yang memberikan akting terbaiknya. Chemistry Vino dan Bella layak diacungi jempol.
Yang membuat terasa berat ada pilihan untuk memulai film ini dari masa tua Buya Hamka menuju awal berumah tangga. Banyak tokoh yang sebenarnya ada dan muncul di masa muda Hamka yang akan muncul di volume 2 dan 3, namun tidak diberi penjelasan sehingga cukup membuat bingung penonton yang tidak tahu kisah hidup Buya Hamka sebelum menonton. Atau sebenarnya itu strategi agar penonton penasaran dan menantikan volume berikutnya? Patut dinantikan.