Komnas HAM Sebut Penggunaan Kekuatan Berlebih Saat Kerusuhan Wamena Langgar HAM
JAKARTA - Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menyatakan bahwa penggunaan kekuatan berlebih atau excessive use of force dalam pengendalian massa pada kerusuhan Wamena, Papua Pegunungan, merupakan bagian dari pelanggaran HAM.
“Penggunaan kekuatan berlebih (excessive use of force) dalam pengendalian massa yang menimbulkan korban jiwa adalah bagian dari pelanggaran HAM,” ucap Semendawai dalam konferensi pers “Penyampaian Laporan Pemantauan Peristiwa Kerusuhan Wamena pada 23 Februari 2023” dilansir ANTARA, Kamis, 6 April.
Terdapat penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam upaya pengendalian massa oleh anggota Polri dan TNI. Penggunaan kekuatan yang berlebihan tersebut mengakibatkan sembilan warga tertembak dan meninggal dunia, serta puluhan lainnya terluka.
Adapun dampak kerusuhan Wamena menyebabkan 11 orang meninggal dunia, 58 orang mengalami luka-luka, 920 orang mengungsi ke Kodim 1702/Jayawijaya, serta kerugian materi lainnya, yaitu terbakar atau rusaknya sejumlah rumah tinggal, ruko, kios, dan kendaraan bermotor.
“Berdasarkan bukti medis terhadap jenazah sembilan korban masyarakat asli Papua, patut diduga bahwa sembilan masyarakat asli Papua yang meninggal dunia disebabkan karena tembakan senjata api,” tutur Semendawai.
Sedangkan, dua orang warga pendatang yang meninggal dunia diduga kuat akibat senjata tajam, yakni busur panah dan parang.
Baca juga:
- Pencarian Asal Usul Kekayaan Sekda Riau hingga Pejabat Ditjen Pajak Tak Hanya Andalkan Klarifikasi
- Dirut BPJS Kesehatan Ungkap Ada RS Klaim Miliaran Rupiah Meski Tak Ada Pasiennya
- Dito Mahendra Bantah Soal 9 Senpi Ilegal: Kantongi Surat Resmi Kodam IV/Diponegoro
- Bangganya Wayan Koster Tolak Israel: Cuma Gubernur Bali yang Bisa, Orangnya Kecil Tapi Khasiatnya Besar
Semendawai mengungkapkan terdapat sejumlah temuan pelanggaran HAM dalam kasus kerusuhan Wamena, yaitu pelanggaran hak hidup, hak atas rasa aman, hak memperoleh keadilan, hak kesejahteraan, dan hak anak.
“Latar belakang penyebab kerusuhan ini tidak hanya dipicu oleh adanya disinformasi penculikan anak semata, tetapi juga berhubungan dengan akar masalah adanya sentimen antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat pendatang,” tuturnya.
Selain itu, juga terdapat sentimen ekonomi mengenai proteksi dan pemberdayaan hak-hak masyarakat asli Papua dalam berbagai bidang kehidupan, sesuai semangat affirmative action.