Perang Sarung: Ketika Tradisi Menyenangkan Menjadi Ajang Mencekam
JAKARTA – Perang sarung awalnya merupakan permainan para remaja untuk mengisi kegiatan di bulan Ramadan. Biasanya dilakukan saat hari libur sekolah usai solat tarawih atau solat subuh. Tradisi ini berdasar sejumlah literasi muncul sejak lama, khususnya di sejumlah wilayah Pulau Jawa.
Seperti di Banyumas, Jawa Tengah. Usai solat subuh berjamaah di Masjid, para remaja yang jumlahnya bisa mencapai puluhan orang berkumpul. Melepas sarung yang sebelumnya digunakan untuk solat, lalu melipat, mengikat di salah satu ujungnya, atau menggulung hingga seperti cambuk. Sarung-sarung ini yang digunakan untuk senjata dalam perang sarung.
Mereka kemudian saling serang menggunakan sarung. Meski ada yang menunjukkan muka serius, tetapi tujuan para remaja tersebut, kata pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti, hanya sekadar bersenang-senang, bukan untuk melukai. Perang Sarung: Ketika tradisi menyenangkan nenjadi Ajang Mencekam
Sehingga para pemain hanya tertawa-tawa ketika terkena ujung sarung lawan.
Miris, kondisinya sudah jauh bergeser saat ini. Permainan yang awalnya hanya untuk bersenang-senang mengisi waktu berubah menjadi ajang tawuran antar kelompok. Sarung-sarung yang menjadi senjata diisi batu, botol atau sebagai pembungkus besi.
Tak pelak, fenomena perang sarung saat Ramadan kerap kali menimbulkan korban. Tahun lalu perang sarung antara dua kelompok pemuda di Mandalawangi, Pandeglang, Banten mengakibatkan satu remaja tewas.
Ramadan tahun ini pun serupa, perang sarung kembali marak di kota-kota besar Pulau Jawa. Di Pasar Kemis, Tangerang pada 25 Maret lalu, polisi mengamankan 18 remaja. Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada 27 Maret lalu polisi juga mengamankan belasan remaja. Begitupun di Surabaya.
“Ternyata, sarung tidak kosong, namun ada yang dimasukan pipa hingga besi. Inilah yang berakibat fatal ketika mengenai lawan,” ujar Retno Listyarti kepada VOI pada 29 Maret 2023.
Pencegahannya butuh dukungan dari semua pihak, bukan hanya tugas kepolisian. Orangtua juga harus mengawasi gerak-gerik anak remajanya.
“Perlu periksa media sosial anak, karena umumnya janjian perang sarung dilakukan lewat media sosial. Pengawasan orangtua berperan sangat penting untuk memastikan bahwa sehabis saur, anak-anak yang izin hendak salat subuh berjamaah ke masjid tidak melakukan perang sarung,” ucap Retno.
Masyarakat juga harus membantu pencegahan dan segera melaporkan jika ada hal-hal yang mencurigakan. Semisal kerumunan remaja dengan tanda-tanda mau melakukan tawuran, dan lainnya.
“Segera kontak RT/RW sekitar atau melapor ke nomor polisi terdekat dari lokasi. Patroli kepolisian juga sangat penting sebagai pencegahan, hukum berat mereka yang benar-benar terbukti melakukan perbuatan kriminal. Biar ada efek jera,” kata Retno.
Sementara, pihak sekolah harus mengambil inisiatif dengan intens memberi pemahaman kepada para siswa untuk mengisi Ramadan dengan kegiatan-kegiatan positif.
Yang tak kalah penting, menurut Wakil Ketua DPRD Surabaya AH Thony, adalah mengidentifikasi permasalahan. Dua kelompok remaja bertikai pasti ada penyebabnya.
“Identifikasi, kalau penyebabnya gara-gara balapan misalnya, artinya para remaja butuh wadah untuk menyalurkan energinya. Ini tantangan karena ketika energi mereka tidak bisa disalurkan, maka para remaja akan mencari sasaran pelampiasan,” ucapnya seperti dilansir dari Antara.
Krisis Jati Diri
Mengidentifikasi masalah merupakan kunci penting. Sejatinya, apa yang terjadi dengan remaja saat ini adalah cerminan dari lunturnya nilai-nilai masyarakat Indonesia sebagai bangsa berketuhanan. Rasa kasih sayang antar sesama seperti yang diajarkan dalam agama mulai menipis.
Para remaja seolah mengalami krisis identitas atau krisis jati diri. Mereka senang menghujat, senang menyakiti, dan rentan terprovokasi, terlebih dengan isu-isu yang mengatasnamakan agama atau kelompok.
“Artinya, kita mengalami pergeseran budaya. Tampaknya kita sedang dalam kebingungan massal tentang nilai-nilai mana yang seharusnya kita yakini sebagai dasar bermasyarakat,” kata Prof. Dr. Subroto dalam buku Indonesia di Tanganmu.
Kebingungan tersebut mengakibatkan para generasi muda sekadar mengekor saja terhadap segala hal yang tampaknya bagus meski sesungguhnya tidak sesuai dengan jati diri dan budaya Indonesia.
Sikap individualisme terlihat jelas. Sejak tahap sekolah saja, terutama mereka yang berada di kota lebih sering diperkenalkan dengan nilai kompetisi daripada nilai kolaborasi.
Spanduk yang tertempel di lingkungan sekolah selalu berisi kata-kata mempersiapkan anak untuk mampu berkompetisi di era globalisasi.
“Hampir tidak pernah saya melihat ada yang tulisannya misalnya mempersiapkan anak untuk mampu membangun kolaborasi kerja sama dan sinergi di tingkat global untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” kata Subroto.
Baca juga:
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan kompetisi, ketika istilah ini dimaknai sebagai upaya untuk mendorong diri melakukan yang terbaik.
Namun bila kesadaran untuk berkompetisi tidak dibarengi dengan kesadaran untuk bekerja sama, berkolaborasi, dan bersinergi, maka kompetisi akan dengan mudah mendorong seseorang untuk menghalalkan segala cara menjadi pemenang.
“Semangat menghalalkan segala cara digabung dengan individualisme dan meterialisme adalah salah satu pertanda jelas bahwa ada penyimpangan yang sangat serius dalam bangunan nilai-nilai kita sebagai masyarakat, bangsa, dan sebagai negara yang ketika didirikan bercita-cita demikian luhur,” tutur Subroto.
Penyimpangan-penyimpangan itulah yang pada akhirnya mengakibatkan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan tidak adanya keadilan bagi seluruh masyarakat.
“Oleh karena itu, sebelum kita bicara tentang tantangan-tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa, mari kita bersama-sama merenung terlebih dahulu soal yang mendasar ini,” imbuh Subroto.