Mother Mosque of America, Masjid Tertua di Amerika Serikat: Sempat Jadi Gereja dan Penampungan Pengungsi Kamboja

JAKARTA - Meski bukan merupakan masjid pertama yang dibangun di Amerika Serikat, masjid ini banyak mencatat sejarah perkembangan Islam di Negeri Paman Sam, diakui sebagai bangunan bersejarah.

Di dalam sebuah bangunan kayu kecil di sebuah jalan yang sepi di Cedar Rapids, Iowa, Albert Aossey memandangi sebuah foto hitam-putih yang memperlihatkan sekelompok pemuda Muslim sedang beribadah.

"Barisan paling atas, yang kedua, itu saya," katanya sambil menunjuk seorang pemuda yang mengenakan kaos putih, melansir The National News 25 Maret.

Foto tersebut diambil pada tahun 1950-an, tidak jauh dari tempat Aossey (84) berdiri saat ini. Foto itu adalah salah satu dari puluhan foto yang dipajang di ruang bawah tanah Mother Mosque of America, yang mencatat pasang surutnya masjid tertua di Amerika Serikat ini.

Aossey telah terkait erat dengan bangunan persegi sederhana di dekat sudut 9th Street dan M Avenue itu sejak lahir. Ayahnya, Yahya, berimigrasi ke AS dari Nabatieh, wilayah yang sekarang menjadi Lebanon selatan pada tahun 1907, dan akhirnya menetap di Cedar Rapids pada tahun 1920-an.

Yahya, yang menggunakan nama William di AS, bekerja sama dengan beberapa Muslim lainnya dari Levant untuk membangun masjid pertama di Cedar Rapids.

Mother Mosque of America. (Wikimedia Commons/RifeIdeas)

Bangunan berdinding papan putih yang menyerupai rumah sekolah tua itu bukanlah masjid pertama yang dibangun di Negeri Paman Sam. Sebelumnya, masjid di Ross, North Dakota, dibangun pada tahun 1929, namun hancur pada abad yang lalu.

Masuk dalam Daftar Tempat Bersejarah Nasional di Amerika Serikat, pembangunan Mother Mosque dimulai pada tahun 1929 dan selesai pada tahun 1934.

"Saya akan mengatakan bahwa bangunan itu sendiri adalah bangunan yang sangat sederhana," jelas Imam Taha Tawil, yang telah memimpin ibadah di masjid selama lebih dari tiga dekade.

Di daerah yang hingga kini masih merupakan lingkungan kelas pekerja, komunitas Muslim asli di sini terdiri dari para pedagang dan buruh tani.

Mereka tidak memiliki keterampilan untuk membangun struktur yang penuh hiasan, jadi mereka memilih yang fungsional.

"Tidak banyak fitur-fitur Islami, karena kami tidak memiliki seniman di komunitas ini," ujar Tawil kepada The National,

Masjid ini memiliki dua lantai. Lantai utama, pada adalah sebuah ruangan persegi, adalah untuk beribadah. Sebuah area kecil di bagian belakang digunakan untuk berwudu sebelum salat.

Mother Mosque of America. (Wikimedia Commons/RifeIdeas)

Sebuah tangga sempit mengarah ke ruang bawah tanah, di mana terdapat dapur kecil, kamar mandi dan area tempat duduk utama bagi masyarakat untuk berkumpul.

Sekarang, kondisi masjid ini masih sangat mirip dengan bangunan yang dibangun oleh ayah Aossey hampir 90 tahun yang lalu. Ia memiliki kenangan hangat ketika datang ke masjid saat masih kecil.

"Setiap Kamis malam, akan ada kopi dan akan ada roti lapis atau roti gulung atau donat," kenang Aossey.

"Seseorang akan membaca Al-Qur'an selama setengah jam di lantai utama, lalu mereka menggeser kursi-kursi ke belakang, mengeluarkan meja-meja dan bermain pingpong hingga pukul 10 atau 11 malam," paparnya.

Bangunan ini menjadi tempat berkumpulnya komunitas Muslim yang terus berkembang hingga tahun 1970-an, ketika jumlah jemaah mulai melebihi kapasitas ruangan yang kecil.

Mereka akhirnya membangun masjid yang lebih besar di bagian lain di Cedar Rapids dan menjual bangunan aslinya.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, bangunan ini menjadi pusat pengungsian bagi warga Kamboja yang melarikan diri dari Khmer Merah, dan kemudian menjadi gereja Pentakosta, sebelum akhirnya rusak.

Saat itulah Imam Tawil menggalang masyarakat untuk membeli kembali bangunan tersebut dan mengembalikannya menjadi masjid yang berfungsi dengan baik.

Mother Mosque of America. (Wikimedia Commons/ArtisticAbode)

Imam Tawil, yang berasal dari Yerusalem, mengatakan, ia terinspirasi untuk membangun kembali masjid tersebut karena masa kecilnya di kota kuno tersebut.

"Saya memikirkan sejarah dan generasi berikutnya. Saya pikir kita perlu melestarikan bangunan ini dan mempertahankannya sebagai mercusuar," tutur Tawil.

Meskipun kota Cedar Rapids telah lama mendukung masyarakat Muslim, yang kini jumlahnya mencapai ribuan, masjid ini telah mengalami serangan Islamofobia setelah serangan 11 September 2001 dan ketika Donald Trump menjabat sebagai presiden.

"Trump telah menyebabkan banyak rasa sakit dan penderitaan bagi kami sebagai Muslim di Amerika, dengan kebijakan-kebijakannya yang berhaluan kanan," ungkap Tawil.

Imam tersebut percaya, masjid yang telah berdiri selama hampir satu abad ini merupakan bukti ikatan yang mendalam antara umat Islam dengan Amerika Serikat.

"Bangunan ini adalah entitas dan institusi Amerika. Kita harus menjaganya agar orang tidak bisa mengatakan, 'Kembalilah ke negaramu,'" tandasnya.

"Ini adalah negara kami dan inilah buktinya. Bangunan ini adalah bukti bahwa kami ada di sini dan nenek moyang kami telah memberikan kontribusi kepada masyarakat," katanya.

Sementara bagi Aossey, bangunan ini merupakan hubungan yang nyata dengan almarhum ayahnya yang tercinta.

"Dia mengajari saya pentingnya kehidupan dan keluarga," singkatnya, di ruang ibadah yang telah membuatnya berakar di Cedar Rapids selama delapan dekade.