Frekuensi Kejadian Ekstrem Berubah, BMKG Ingatkan Kesadaran Seluruh Pihak Tekan Pemanasan Global
SUMBAR - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai aksi konkret pengendalian perubahan iklim dari pemerintah dan masyarakat penting untuk menahan laju pemanasan global demi keberlangsungan generasi mendatang.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, bentuk kontribusi dapat dilakukan mulai dari yang mudah seperti tidak membuang sampah sembarangan, menerapkan Reduce, Reuse, Recycle (3R), menanam pohon, berjalan kaki, bersepeda, atau gunakan transportasi umum, dan hemat energi.
"Khusus sampah, dampaknya sangat besar karena memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Karenanya, meskipun terlihat sepele, namun langkah kongkrit itu berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim," ujarnya, disitat Antara.
Dwikorita mengatakan hal itu saat peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73 yang diselenggarakan di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat (Sumbar), Senin 20 Maret.
BMKG mencatat secara keseluruhan tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia, dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celsius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020.
Tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,7 derajat Celsius, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 derajat Celcius.
Kondisi terpanas itu, kata Dwikorita, dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino.
BACA JUGA:
Dwikorita menambahkan, akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir.
Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.
"Contoh nyata di Indonesia adalah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi," tuturnya.
Yang terbaru, lanjut dia, adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia.
"Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa," kata Dwikorita.