Impor Pakaian Bekas Menjadi Ancaman UMKM Lantaran Aturan Setengah Hati
JAKARTA – Minat masyarakat Indonesia terhadap pakaian bekas impor masih cukup tinggi. Tengok sejumlah tempat seperti Pasar Senen di Jakarta atau Pasar Cimol Gedebage di Bandung. Meski tidak sepadat pada 2019, kedua pasar yang menjadi etalase pakaian bekas impor itu tetap tidak pernah sepi pengunjung.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) impor pakaian bekas di Indonesia memang mengalami peningkatan sejak 2017 dan mencapai puncaknya pada 2019 hingga 392 ton.
Sempat menurun drastis pada masa pandemi, tetapi volume impor pakaian bekas kembali meningkat sepanjang 2022 hingga 26,22 ton. Namun, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, realitas di lapangan bisa saja angkanya lebih dari itu.
Seperti pada 2021, data BPS hanya 8 ton, tetapi kalau mengacu situs Trade Map seperti dilaporkan Kompas, data ekspor pakaian bekas yang dicatat negara eksportir mencapai 27.420 ton.
Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Hongkong, Nigeria, China, India tercatat sebagai negara pemasok pakaian bekas ke Indonesia.
“Memang saat era pandemi, penjualan sudah bergeser ke online. Dalam 3 tahun terakhir kalau kita browsing di media sosial misalnya, ada yang sampai live sales,” kata Bhima kepada VOI pada 15 Maret 2023.
Ada sejumlah alasan mengapa masyarakat Indonesia gemar thrifting membeli pakaian bekas impor. Pertama tentu branded, kedua harga terjangkau.
“Harganya bisa 4 kali lipat lebih murah daripada beli baju baru. Dari segi kualitas meski tidak semua laik, tapi pintar-pintarnya si konsumen saja untuk menyortir. Tapi rata-rata barang impor yang lolos sortir dan branded memang jauh lebih murah dibanding produk pakaian jadi lokal,” tambahnya.
Kendati begitu, volume impor pakaian bekas yang cenderung meningkat mengakibatkan industri pakaian jadi dalam negeri terpukul. Sebanyak 432 ribu ton atau 22,73 persen dari total konsumsi pakaian dan barang jadi dalam industri lokal nasional tergeser menurut data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (Apsyfi).
Baca juga:
Bhima pun memperkirakan 50 persen nilai produk domestik bruto industri pakaian jadi sebesar Rp201,6 triliun per tahun terancam keberadaan pakaian bekas impor.
Pada akhirnya, sejumlah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga banting stir, ikut menjual produk pakaian bekas impor karena marjinnya lebih besar dan hemat biaya tenaga kerja.
“UMKM yang menjual kembali produk barang bekas sebagai reseller sebenarnya menjadi kanibal dengan UMKM lain di sektor produksi pakaian jadi,” ujar Bhima.
Setengah Hati
Mengatasi itu, pemerintah harus tegas. Larangan mengenai impor pakaian bekas sebenarnya sudah tertera jelas dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 40 Tahun 2022 tentang perubahan Permendag No 18 tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.
Pada pasal 2 ayat 3 menyebut barang yang dilarang impor antara lain kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Sayangnya, kata Bhima, seolah setengah hati. Ada regulasi melarang tapi faktanya yang beredar di toko online juga tidak kena sanksi. Yang dibutuhkan sekarang bukan aksi simbolik dengan menyita atau membakar pakaian bekas impor, tapi lebih kepada penegakan di lapangan dan sanksi bagi importir.
“Selama penegakan setengah hati, pakaian bekas tetap akan banyak peminatnya,” kata Bhima.
Selain penegakan, pemerintah pusat dan daerah juga memiliki tugas meningkatkan kualitas pakaian jadi lokal. Pendampingan produksi dan pemasaran harus lebih serius.
“Jika pelarangan total, dibarengi dengan peningkatan kualitas produk lokal tidak menutup kemungkinan pelaku usaha pakaian jadi kembali menjadi sektor usaha yang dilirik oleh investor,” Bhima melanjutkan.
Di sisi lain, kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki seperti yang sudah diberitakan VOI, konsumen juga perlu diedukasi bahwa membeli dan menjual pakaian bekas impor lebih banyak mudaratnya. Tidak tepat kalau penggunaan pakaian bekas impor sebagai cara menjaga lingkungan.
Memang ada kreasi dari industri tekstil dan garmen yang memanfaatkan sisa bahan atau pakaian untuk diolah lagi menjadi pakaian jadi. Namun, itu produk dalam negeri, bukan hasil impor pakaian bekas.
“Jadi, selain berpotensi mematikan bisnis UMKM, memicu hilangnya potensi tenaga kerja, impor pakaian bekas juga tidak sejalan dengan semangat gerakan Bangga Buatan Indonesia,” kata Teten kepada awak media pada 13 Maret 2023.