Eksodus Terus Meningkat, WHO Sebut Sistem Kesehatan 55 Negara Terancam Karena Kekurangan Orang
JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) prihatin lantaran eksodus tenaga kesehatan dari negara miskin ke negara kaya terus meningkat, saat berusaha untuk menopang kehilangan staf mereka akibat pandemi COVID-19, terkadang melalui perekrutan aktif.
Tren perawat dan staf lainnya untuk meninggalkan beberapa bagian Afrika atau Asia Tenggara, untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik di negara-negara yang lebih kaya di Timur Tengah atau Eropa sudah terjadi sebelum pandemi. Tetapi, itu meningkat sejak pandemi terjadi, kata badan kesehatan PBB, karena persaingan global semakin memanas.
"Tenaga kesehatan adalah tulang punggung setiap sistem kesehatan. Namun, 55 negara dengan beberapa sistem kesehatan yang paling rapuh di dunia tidak memiliki cukup tenaga kesehatan, banyak yang kehilangan tenaga kesehatannya karena migrasi internasional," kata Dirjen WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti melansir Reuters 15 Maret.
Dr. Tedros mengacu pada daftar baru WHO tentang negara-negara rentan, di mana ada delapan negara tambahan sejak terakhir kali diterbitkan pada tahun 2020. Negara-negara tersebut adalah Komoro, Rwanda, Zambia, Zimbabwe, Timor Leste, Laos, Tuvalu dan Vanuatu.
Sementara itu Jim Campbell, direktur departemen tenaga kerja kesehatan WHO mengatakan kepada wartawan, perlindungan bagi negara-negara yang masuk dalam daftar WHO sangat penting, "agar mereka dapat terus membangun kembali dan pulih dari pandemi tanpa kehilangan pekerja akibat migrasi".
Sekitar 115.000 pekerja kesehatan meninggal akibat COVID di seluruh dunia selama pandemi, tetapi lebih banyak lagi yang meninggalkan profesinya karena kelelahan dan depresi, katanya.
Sebagai tanda kelelahan di kalangan tenaga kesehatan, protes dan pemogokan telah diorganisir di lebih dari 100 negara sejak pandemi dimulai, tambahnya, termasuk di Inggris dan Amerika Serikat.
"Kita perlu melindungi tenaga kerja, jika kita ingin memastikan bahwa penduduk memiliki akses untuk mendapatkan perawatan," sebut Campbell.
Baca juga:
- Presiden Biden Temui Keluarga Korban Penembakan Massal Usai Perketat Aturan Kepemilikan Senjata Api
- Redam Bentrokan di Pakistan, Mantan PM Imran Khan akan Hadiri Persidangan di Pengadilan
- Sebut Kerja Sama dengan Jepang Sangat Penting di Tengah Peningkatan Ancaman Korut, Presiden Korsel: Kita Tidak Bisa Membuang Waktu
- China Kembali Buka Perbatasannya untuk Wisatawan Asing Mulai Hari Ini
Ketika ditanya negara mana yang menarik lebih banyak pekerja, ia mengatakan negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dan negara-negara Teluk, tetapi menambahkan bahwa persaingan antara negara-negara Afrika juga semakin ketat.
OECD sendiri terdiri dari 38 negara, meliputi Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Korea Selatan, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat.
WHO mengatakan, mereka tidak menentang migrasi pekerja jika dikelola dengan tepat. Pada tahun 2010, WHO mengeluarkan sebuah kode praktik global yang bersifat sukarela mengenai perekrutan tenaga kesehatan internasional, mendesak para anggotanya untuk mengikutinya.