Peran Vital Teknologi dalam Menjagal Penyebaran Virus Corona

JAKARTA - Virus corona yang berasal dari binatang kelalawar ini begitu cepat menyebar sehingga berpotensi menjadi pandemik. Perkembangan teknologi membantu menekan dampak dari virus tersebut. Jika dibandingkan dengan peristiwa wabah penyakit serupa satu abad lalu, teknologi berperan vital untuk menjagal penyebaran virus. 

Seperti diwartakan media resmi pemerintah Wuhan, China, kasus virus corona pertama kali ditemukan pada 12 Desember tahun lalu. Kemudian, pada 29 Desember kasusnya mulai merebak. Sampai China akhirnya mengumumkan wabah virus corona secara resmi kepada dunia di penghujung tahun. 

Sekarang setelah hampir dua bulan virus itu menyebar, menurut laporan (yang datanya terus berubah) gisanddata.maps.arcgis.com, tercatat sudah ada 31.519 kasus virus corona sementara 638 orang tewas. 

Menurut seorang doktor jebolan Universitas Harvard Jason Arora yang tulisannya dimuat SCMP, situasi seperti ini untuk beberapa kasus terjadi disinformasi, penanganan yang berjalan lambat, tidak konsisten dan membingungkan. Tapi, hal tersebut tidak terjadi di era modern seperti ini. 

Yang dia lihat, kecepatan skala respon internasional untuk kasus virus corona ini, merupakan yang tercepat dalam sejarah. Atas dasar itu, dia berkata, teknologi punya peran penting dalam beberapa fungsi seperti di antaranya untuk penyebaran informasi dan memobilisasi sumber daya. 

Pada 31 Desember 2019, China melapor kepada WHO bahwa mereka menemukan virus yang belum pernah diketahui sebelumnya. Virus tersebut diduga bersumber dari pasar daging dan makanan laut di Wuhan. Kemudian besoknya, pasar tersebut langsung ditutup. 

Pada 9 Januari, WHO membuat pengumuman global tentang virus ini. Besoknya China memberikan informasi soal DNA virus ke komunitas kesehatan dunia. Kemudian pada 11 Januari vaksin mulai dikembangkan. Dan semua ini terjadi hanya dalam waktu kurang dari dua minggu. 

Dalam dunia kedokteran, kata Arora, para peneliti kesehatan masyarakat sudah meramalkan penyebaran penyakit dengan menggunakan ilmu analisis data mutakhir setidaknya untuk membantu bagaimana komunitas kesehatan internasional menghadapinya. 

Sementara itu, dengan ditemukannya urutan DNA, berarti sistem kesehatan global sudah bisa mengembangkan tes diagnostik dengan segera. Dan benar saja, hanya butuh waktu empat minggu-an sejak virus corona diumumkan secara global, sebuah kelompok di Amerika Serikat telah merancang vaksin potensial. 

Hal itu tak aneh, lantaran di Laboratorium Inovio, San Diego, dengan menggunakan teknologi pengurutan DNA yang baru, hanya diperlukan waktu tiga jam untuk bisa mendapatkan vaksin potensial. Kabarnya, vaksin itu baru akan mulai diuji coba kepada manusia pada musim panas nanti. Dan vaksin yang aman kabarnya akan tersedia sebelum akhir tahun ini. 

Berdasarkan informasi yang didapat dari lab tersebut, pendorong utama di balik respons cepat ini adalah Koalisi Internasional untuk Kesiapsiagaan Epidemi yang dibentuk melalui Forum Ekonomi Dunia tiga tahun lalu. 

Selain itu, faktor komunikasi yang lancar di seluruh komunitas global sangat membantu para peneliti untuk memanfaatkan teknologi dan mensinergikan penelitian para peneliti yang berasal dari belahan dunia yang berbeda. Sehingga bila sebuah masalah telah diselesaikan di satu belahan dunia, pengetahuan itu bisa dengan cepat ditransfer ke belahan dunia lain. 

Kini, cara dunia menghadapi wabah penyakit yang bisa memusnahkan manusia dalam sekejap sudah lebih baik. Setidaknya komunitas kesehatan internasional sudah memetik pelajaran dari kasus penyebaran virus sars dua puluh tahun lalu. 

Saat itu virus yang sama-sama menyerang sistem pernafasan tersebut menyebar ke lebih dari dua lusin negara di empat dunia, dan menewaskan 813 orang dalam jangka waktu delapan bulan. 

Masalahnya, dulu pihak berwenang setempat tidak langsung membuka komunikasi dengan komunitas internasional bahwa mereka menemukan jenis virus baru dan mematikan. Sampai-sampai orang-orang keburu terinfeksi sebelum orang-orang mengetahui adanya penemuan wabah virus baru yang mematikan. 

Lebih jauh lagi, dunia telah belajar banyak dari peristiwa satu abad lalu pada peristiwa pandemi H1N1 tahun 1918 yang juga dikenal sebagai pandemi flu Spanyol. Penyebaran wabah ini tercatat yang paling parah dalam sejarah era modern. Pada peristiwa itu, setidaknya 50 juta orang tewas. 

Pada saat itu, pengetahuan para dokter belum semutakhir sekarang. Mereka punya pemahaman terbatas soal virus itu sendiri, sementara belum ada yang namanya tes diagnostik saat itu. Mereka belum tahu ada virus flu, belum ada vaksin, apalagi antibiotik untuk mengobatinya. 

"Sama sekali tidak memiliki sumber daya dan keahlian yang diperlukan (pada waktu itu)... Alat komunikasi terbatas pada masa-masa awal radio, pos, dan telegram," kata dokter lulusan Universitas Harvard, Arora.