4 Alasan Fraksi Demokrat Tolak Perppu Cipta Kerja Jadi UU

JAKARTA - Badan Legislasi DPR RI menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) disahkan menjadi Undang-Undang pada masa sidang berikutnya.

Dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hanya dua fraksi yang menolak yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Demokrat Santoso, menjelaskan empat alasan partainya menolak Perppu Cipta Kerja dijadikan produk UU. 

Pertama, Fraksi Demokrat menilai, keluarnya Perppu Ciptaker tidak sesuai dengan amar putusan MK yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya.

"Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi aspek formalitas dan juga cacat secara konstitusi," ujar Santoso dalam keterangannya, Kamis, 16 Februari. 

Ketiga, Perppu Cipta Kerja dianggap bukan menjadi solusi dari ketidakpastian hukum dan ekonomi di Indonesia seperti alasan pemerintah.

"Terbukti, pasca terbitnya Perppu masyarakat dan kaum buruh masih berteriak dan menggugat tentang skema upah minimum, aturan outsourcing, PKWT, aturan PHK, TKA, skema cuti lainnya yang dibutuhkan perbaikan tidak hanya dari formil, namun substansinya," lanjut Santoso.

Keempat, Fraksi Demokrat memandang Perppu Cipta Kerja tak mencerminkan nilai Pancasila, khususnya terkait keadilan sosial. 

"Perppu Cipta Kerja, malah mengarah Indonesia ke arah ekonomi kapitalis dan neoliberalistik," tegas Santoso.  

Sementara, pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan Perppu Cipta Kerja mendesak diterbitkan guna menjawab keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengisi kekosongan hukum pada UU Cipta Kerja.

"Parameter kegentingan memaksa menurut putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU," ujar Airlangga dalam rapat Baleg DPR, Rabu, 15 Februari. 

Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya undang-undang yang ada.

"Ketiga, terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan atau kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," lanjutnya.

Selain itu, Airlangga menjelaskan, penerbitan Perppu juga jawaban terhadap masukan dari masyarakat terkait UU Cipta Kerja.

"Perubahan terbatas yang dilakukan lewat Perppu Cipta Kerja merupakan respons atas masukan yang disampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat, pemangku kepentingan. Termasuk dari sebagian serikat pekerja ataupun serikat buruh," katanya.