Interview: Memandang Efek Rumah Kaca dan Rimpang dari Kacamata Reza Ryan

JAKARTA - Berawal dari keterlibatannya dalam Pandai Besi - band 'alter ego' Efek Rumah Kaca (ERK) - Reza Ryan lantas dinobatkan sebagai personel baru oleh Cholil (vokal), Poppie (bass), dan Akbar (drum). Reza Ryan tersanjung dengan keputusan itu. Sebab, jauh sebelum jadi personel, dia memandang ERK sebagai band mahasiswa intelek yang kritis lewat musik-musiknya.

Meskipun Reza Ryan menganggap ERK tidak menjanjikan solusi lewat lagu-lagunya. Tetapi, setidaknya, mereka memberi ruang-ruang diskursus kepada pendengar musik akan isu-isu sosial yang marak terjadi. Sehingga lewat musik yang digaungkannya, secara tidak langsung bisa terjalin kerja sama antarpendengar, termasuk elemen-elemen masyarakat di dalam negara.

Pandangan Reza Ryan saat itu tentunya berasal dari kacamata orang luar. Walaupun saat ini, ia sudah berada di dalam tubuh band intelek tersebut. Dan pencapaian besar itu bukanlah sebuah keberuntungan. Melainkan karena ERK merasakan dampak baik dari segi musikal, berkat kontribusi dan ilmu dari Reza Ryan.

Semua ilmu itu tentu saja didapat Reza Ryan lewat kerja kerasnya mempelajari lagu-lagu jazz, progressive, dan art-rock dengan instrumen gitar dalam delapan jam sehari secara otodidak selama bertahun-tahun. Semua kemahirannya tersebut juga didukung latar belakang pendidikannya di ISI Yogyakarta dengan mengambil studi musik klasik. Tak perlu heran jika ERK tertarik untuk merekrutnya.

Reza Ryan (Instagram @ehhafishah)

Hasilnya, terpancar jelas lewat album terbaru ERK bertajuk Rimpang. Kehadiran Reza Ryan sebagai personel baru mampu menyempurnakan tatanan yang sebelumnya sudah ada dalam ERK. Lantas, VOI tergerak untuk mengupas lebih dalam tentang sosok Reza Ryan serta bagaimana proses penggarapan album Rimpang melalui dirinya. Simak wawancaranya berikut ini. 

Alasan Efek Rumah Kaca menetapkan Anda sebagai personel baru karena mereka merasa Anda memberi banyak kontribusi. Seperti apa kontribusi yang dimaksud?

Aduh kalau itu saya kurang tahu. Tetapi yang pasti ada dua kali masa. Anggaplah “renaissance” dalam fase kehidupan musikal saya, pertama di Yogya saat pertama kali mendengarkan album The Inner Mounting Flame dari band Mahavishnu Orchestra. Kedua saat saya pindah ke Jakarta dan bertemu dengan teman-teman Efek Rumah Kaca, Mas Mondo Gascaro dan Mas Adrian Yunan yang membuka cakrawala berfikir saya dalam memandang musik. Singkatnya saya mau bilang, alih-alih saya memberikan kontribusi banyak ke ERK, justru ERK lah yang lebih banyak memberikan kontribusi ke saya.

Apa yang Anda lihat dan rasakan saat pertama kali menggarap materi bersama Efek Rumah Kaca?

Seru dong! Awalnya saya pikir mereka adalah band yang kecenderungan skala orientasi liriknya lebih berat dibanding musikalnya, tetapi saya salah, ternyata mereka adalah band yang sangat menjunjung nilai estetika musikal.

Berapa lama proses penggarapan album Rimpang hingga dirilis?

Kalau dari penulisan lagu, pemilihan dan pemilahan materi serta aransemen bagan dan struktur lagu sih dari tahun 2016 sebelum saya bergabung. Di masa-masa proses penulisan, pemilihan dan pemilahan materi bakal album Rimpang tersebut, Efek Rumah Kaca juga merilis single Merdeka (2016), Seperti Rahim Ibu (2018) dan EP Jalan Enam Tiga (2019). Kemudian saya bergabung di bulan Januari tahun 2022, terlibat dalam aransemen dari lagu-lagu yang dikumpulkan dan diaransemen di tahun 2016 tersebut dan terlibat dalam pengarapan materi baru di luar dari materi lama seperti lagu Heroik, Sondang, dan Ternak Digembala. Album Rimpang sendiri dirilis di bulan Januari 2023, tepat satu tahun dari sejak saya bergabung. Sebelum Rimpang, kami juga merilis Sapa Pra Bencana, sebuah reinterpretasi kami terhadap lagu karya Candra Darusman/Joeliardi Soenender.

Ide apa saja yang dituangkan di album ini?

Karena sebagian besar lagu sudah tertulis, tertata dan teraransemen, maka saya hanya menyumbang ide tentang bagaimana “sound shaping”-nya, apa lagi yang diperlukan untuk lebih menunjang nyawa lagu agar lebih hidup, agar personalitas lagunya lebih muncul. Misalnya dengan mengisi instrumen yang berbasis kibor dan synthesizer seperti sampled sound dari mellotron (sampled string, woodwind, brass), sound dari digital FM synthesizer maupun analog synthesizer, ide-ide mengisi choir, dll. Di album Rimpang, porsi saya mengisi part gitar malah tidak sebanyak kibor/synthesizer.

Dengan tatanan yang sudah ada sebelumnya, bagaimana cara Anda mengonstruksikan ide ke dalam bentuk Efek Rumah Kaca saat ini?

Dengan berdiskusi, bermain musik (kadang hanya dengan piano maupun gitar saja) dan membedah lagu orang. Mustahil kita bisa membikin karya bagus tanpa bisa menganalisis karya yang bagus dulu. Katakanlah ini suatu tinjauan repertoar. Meninjau repertoar orang lain, selanjutnya duduk dan menganalisis kenapa bisa begitu, dst. Musik sejak dari The Common Practice Period (1600-1910) sampai musik di hari ini adalah rentetan panjang perjalanan pikiran manusia. Musisi hari ini adalah penerus pikiran-pikiran pendahulunya. Dengan mengetahui sejarah, kita bisa meletakkan kaki kita untuk menentukan titik orientasi dari mana, sekarang di mana dan mau ke mana. Sebuah record label boleh saja berandai-andai ingin musik yang baru yang sama sekali lain dari yang lain, mencari tarzan di hutan, memintanya untuk merekam album musik, tapi musiknya tidak akan pernah bisa berbicara karena tarzan tidak mengalami garis peradaban budaya musik yang menghasilkan idiom-idiom yang bisa dipahami bersama. Tarzan bisa saja Anda ajari ratusan bahkan ribuan kosa kata. Tapi ia tidak akan bisa mengerti dan memahami ekspresi serta idiom frase dan penggunaan konteksnya jika dia tidak hidup dalam masyarakat yang melahirkan idiom-idiom tersebut. Setiap musisi, saat menulis suatu rangkaian melodi, tidak bisa tidak, pasti telah terpengaruh bahasa musikal dan idiom-idiom dari musik-musik yang ia dengarkan sebelumnya.

Ketika album ini dirilis, apakah sesuai yang Anda harapkan?

Alhamdulillah. Terasa lega, karena saat saya mulai bergabung, setidaknya ada dua kendala dalam diri Efek Rumah Kaca saat menggarap album Rimpang. Pertama karena domisili Mas Cholil di Amerika yang tentunya akan memengaruhi keluwesan proses kreativitas terutama saat bagaimana ide-ide dilemparkan dan dieksekusi dalam wilayah musikal. Kedua, kami berkejaran dengan jadwal manggung. Saat itu waktu sangat sempit sekali, sehabis manggung, malamnya kami akan langsung latihan dan rekaman untuk track-track yang masih diperlukan tambahan instrumentasinya. Memasuki hari-hari proses mixing, biasanya sehabis manggung, sampai di bandara, kami tidak langsung pulang ke rumah melainkan ke studio untuk meneruskan proses mixing dan kadang-kadang masih muncul ide untuk overdub di sela-sela mixing.

Reza Ryan (Instagram @ehhafishah)

Banyak orang merasa masuknya Anda ke Efek Rumah Kaca memberi banyak dampak positif pada album ini. Menurut Anda?

Kalau dari perspektif saya, yang saya rasakan, yang diberi dampak positif itu saya. Kalau ternyata menurut orang-orang, dengan masuknya saya memberikan dampak positif terhadap album Rimpang maka saya ucapkan puji syukur dan Alhamdulillah. Kalaupun ada yang berpandangan sebaliknya, ya saya tidak apa-apa. Musik punya tempat tersendiri di hidup saya dalam cara pandang kerangka kosmos berfikir saya. Tetapi musik bukan sesuatu yang sakral dan tidak perlu kita bela mati-matian, apalagi untuk hal seremeh-temeh selera orientasi yang sangat subjektif. Tidak harus para ahli dan akademisi, tiap orang boleh berpandangan dan mengutarakan pendapatnya perihal musik yang disukai maupun tidak, perihal musik yang dianggap bagus maupun tidak. Itu biasa saja.

Menurut Anda, apa lagu terbaik Efek Eumah Kaca di luar album Rimpang?

Jalang. Judulnya sudah menjelaskan semuanya. Jalang, baik secara lirik, aransemen maupun cara memainkannya. Lagunya simple saja, hanya ada dua bagian Verse - chorus, dalam konteks ilmu analisis, ini disebut dengan AB song form, tetapi bagian AB ini pengulangannya tidak simetris. A diulang-ulang terus sampai dirasa ketegangannya sudah sangat tinggi untuk selanjutnya berganti ke B dalam amarah yang meledak. Tetapi ERK tidak mau menghabiskan energi di B, mereka menarik ulur emosi pendengar di B. Selayaknya musik-musik yang ekspresif, lagu ini lebih mementingkan ekspresi bunyi sebagai medium utama penyampaiannya, jadi alih-alih berpegang pada kesimetrisan struktur, lagu ini lebih mementingkan intensitas sebagai olahan medium ekspresinya.