Tak Usah Larut dalam Euforia, Vonis Hukuman Mati Ferdy Sambo Belum Inkracht
JAKARTA – Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis terdakwa Ferdy Sambo hukuman mati. Mantan Kadiv Propam Polri ini terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ferdy Sambo juga tanpa hak melakukan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Namun jangan terburu-buru senang, karena vonis mati untuk Sambo belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati,” ucap Hakim Ketua, Wahyu Iman Santoso membacakan putusannya dalam sidang vonis terdakwa Ferdy Sambo di PN Jakarta Selatan pada 13 Februari 2023.
Kendati begitu, kata pengamat hukum pidana dari Universitas Mataram, Farizal Pranata Bahri, Ferdy Sambo masih memiliki hak melakukan upaya hukum lanjutan. Bisa melalui upaya hukum banding hingga kasasi, serta mengajukan peninjauan kembali atas perkaranya.
“Bisa saja ditemukan bukti-bukti baru yang menjadi dasar meringankan hukuman dari putusan hakim sebelumnya. Mungkin juga pihak terdakwa menilai pemeriksa perkara di pengadilan negeri salah menerapkan hukumannya, atau banyak hal lain yang menjadi dasar,” kata Farizal kepada VOI pada 13 Februari 2023.
Bila upaya tersebut tidak berhasil termasuk peninjauan kembali perkara, Ferdy Sambo bisa meminta grasi kepada presiden.
Ini pernah terjadi dengan Brigadir Jenderal Polisi Soegeng Soetarto. Dalam sejarah kepolisian, Soegeng Soetarto menjadi perwira tinggi polisi pertama yang mendapat vonis hukuman mati. Namun, bukan karena kasus pembunuhan terhadap anak buahnya, melainkan karena hal yang bernuansa politik, yakni keterlibatannya dalam aksi kudeta PKI.
Sidang Mahkamah Luar Biasa pada 1973 menjatuhkan vonis mati terhadap Soegeng. Namun pada 1980, hukumannya berubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Presiden Soeharto akhirnya memberikan grasi, Soegeng bebas pada 1995.
Pasal 1 angka 1 UU Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
“Itu hak-hak terdakwa dan terpidana dari kacamata hukum. Dalam perkara ini, kuasa hukum Ferdy Sambo kemungkinan akan menempuh upaya hukum lanjutan, karena mereka berasumsi ada alasan-alasan kuat dari Ferdy Sambo yang mendasari dia melakukan pembunuhan berencana,” tutur Farizal.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi pun menganggap vonis mati terhadap Ferdy Sambo merupakan momen bersejarah. Ini kali pertama jenderal bintang dua polisi mendapat vonis hukuman mati karena kasus kejahatan pembunuhan.
Sejauh ini, vonis mati karena pembunuhan paling terjadi terhadap anggota polisi berpangkat rendah. Seperti kasus Aipda Roni Syahputra, pelaku pembunuhan berencana terhadap dua perempuan. Pengadilan Negeri Medan pada 11 Oktober 2021 menjatuhkan vonis mati terhadap Roni.
Namun, kata Khairul, publik harus terus mengawal perkara tersebut bila nantinya ada upaya hukum yang dilakukan Ferdy Sambo.
“Ini baru peradilan tingkat pertama. Masih ada banding, kasasi, dan upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh. Jadi, jangan terlalu berlarut-larut dalam euforia. Tentunya, kami pun berharap bila memang banding, hakim di tingkat selanjutnya jangan main-main. Jangan sampai mencederai lagi rasa keadilan masyarakat,” tuturnya kepada VOI pada 13 Februari 2023.
Hukuman Mati
Dalam pasal 10 KUHP, hukuman mati tergolong ke dalam salah satu pidana pokok. Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP antara lain:
Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala negara.
Pasal 111 ayat 2 KUHP: Mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia. Pasal 124 ayat 3 KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang.
Pasal 140 ayat 4 KUHP: Membunuh kepala negara sahabat.
Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.
Pasal 365 ayat 4 KUHP: Pencurian dan kekerasan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati.
Selain itu, beberapa pasal dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika juga mengatur pidana mati. Pasal 118 dan Pasal 121 ayat 2 menyebut ancaman hukuman maksimal bagi pelanggar adalah pidana mati.
Sejauh ini, menurut Database Hukuman Mati di Indonesia yang dikelola oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ada 326 terpidana mati, tetapi baru 34 orang yang sudah dieksekusi.
Eksekusi terakhir dilakukan pada 2016 terhadap empat terpidana mati kasus narkotika, satu di antaranya Freddy Budiman. Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Juli 2013 mengganjar Freddy vonis mati atas kasus kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi yang diselundupkan dari China pada Mei 2012.
Upaya Freddy mendapat keringanan hukuman melalui banding dan peninjauan kembali tak membuahkan hasil. Eksekusi mati kemudian dilakukan tiga tahun kemudian, pada Jumat dini hari, 29 Juli 2016.
Reputasi Penegak Hukum
Kasus Ferdy Sambo, menurut Khairul, harus menjadi evaluasi bagi Polri. Bagaimana pun, Polri adalah salah satu institusi penegak hukum yang seharusnya taat pada hukum.
“Kita tentu tidak ingin ada Sambo-Sambo lain. Polri harus semakin rapi, cermat dalam melakukan penilaian terhadap personel-personelnya. Misalnya terkait dengan pengembangan karier dan promosi jabatan, harus lebih ketat. Ini harus berdasar pada hal-hal berbasis kompetensi,” katanya.
Peneliti ASA Indonesia Institute, Reza Indragiri Amriel juga menilai dengan menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo, hakim telah menjadikan putusan mereka mencapai tiga sasaran sekaligus: karir hakim, marwah Mahkamah Agung di mata publik, dan wibawa sistem peradilan pidana dari kemungkinan terbeli oleh pelaku kejahatan yang berharta dan berkuasa.
Vonis mati bukan akhir proses hukum yang dihadapi Ferdy Sambo. Kelak, sangat mungkin keluarga Yosua akan mengajukan gugatan perdata ganti rugi terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Ganti rugi atas segala kebohongan dan pembunuhan karakter terhadap Yosua.
“Satu lagi, pihak rutan perlu menjaga ekstra Ferdy Sambo dan PC pasca putusan. Mengacu studi, tingkat bunuh diri di rutan lebih tinggi daripada di lapas. Penyebabnya adalah tersangka atau terdakwa mengalami shocked. Terguncang jiwanya. Jaga FS dan PC agar tidak melakukan perbuatan yang bisa berakibat fatal bagi hidup mereka sendiri,” imbuh Reza kepada VOI pada 13 Februari 2023.