Dominasi Sutradara Wanita dalam Deretan Film Sukses Tahun 2020

JAKARTA - Di tengah situasi sulit akibat gempuran COVID-19, industri perfilman tidak sepenuhnya punah.  

Sebuah studi dari Center for the Study of Women in Television and Film, San Diego State University menyebut banyak sutradara wanita membuat film major di tahun 2020. Studi ini diawasi oleh Dr. Martha Lauzen, direktur Study of Women.

Tahun 2020, jumlah sutradara wanita meningkat menjadi 16 persen dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, seperti 13 persen di tahun 2019 dan 4 persen di tahun 2018. Hasilnya, karya yang dibuat para sutradara wanita mendominasi ranah persaingan secara positif.

Dibandingkan pria, angka ini memang tidak begitu besar. Bahkan pertumbuhannya pun terhitung lamban. Selama 20 tahun industri berjalan, persentase sutradara wanita yang menyutradarai 250 film terlaku di Amerika Serikat hanya 4 persen dari tahun 2018 ke tahun berikutnya.

Kampanye untuk mendorong bertambahnya jumlah sutradara wanita terus dikumandangkan di Hollywood. Namun perkembangan itu tidak sepenuhnya terjadi. Hanya saja, peningkatan 16 persen pada tahun lalu, sudah cukup bagus.

Meraih Respons Positif

Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn) dari Cathy Yan menjadi film karya sutradara wanita pertama yang dirilis di bioskop pada tahun lalu. Ditayangkan bulan Februari, Birds of Prey meraih box office dengan total pendapatan 201 juta dolar Amerika Serikat.

Film ini menampilkan karakter sentral Harley Quinn yang diperankan Margot Robbie. Birds of Prey menjadi cara penulis untuk menampilkan cerita Harley Quinn secara personal di samping image-nya sebagai pasangan Joker.

>

Sayangnya, animo kehadiran sutradara wanita dalam perfilman harus terhenti akibat pandemi COVID-19 di bulan Maret. Ya, pandemi memengaruhi penayangan film The Eternals dari Chloe Zhao dan Black Widow dari Cate Shortland.

Padahal kedua film Marvel Studios ini menjadi film yang paling ditunggu-tunggu penayangannya. Tidak hanya menjadi generasi baru superhero Avengers, namun juga menjadi arena unjuk kemampuan sutradara wanita.

Film Mulan arahan sutradara Niki Caro juga sempat tertunda sebelum akhirnya pihak Disney memilih untuk menyangkannya melalui platform Disney+ dengan biaya tambahan.

Lalu, meski harus menunda penayangan The Eternals, tahun ini Chloe Zhao menayangkan Nomadland. Film ini berkompetisi di sejumlah festival seperti Toronto, Venice, San Diego, dan lainnya.

Film Nomadland yang dibintangi Frances McDormand mendapat respons bagus di antara kritikus. Situs ulasan agregator Rotten Tomatoes memberi rating 97 persen. Nomadland mengisahkan seorang wanita bernama Fern (Frances McDormand) yang melakukan perjalanan menjajakan kehidupan sebagai pengembara menggunakan mobil van.

Jika Nomadland populer di jalur festival, di bagian major ada Patty Jenkins yang berhasil membuat Wonder Woman 1984 tayang di bioskop dan juga melalui layanan streaming HBO Max. Film ini berhasil meraih 118 juta dolar AS di seluruh dunia.

Peningkatan Jumlah Editor, Penulis Naskah, dan Produser Wanita

Masih dari Study of Women in Television and Film, meningkatnya sutradara wanita berpengaruh terhadap meningkatnya penulis, produser, dan editor wanita yang bekerja di industri perfilman.

Dilihat dari daftar 100 film dengan pendapatan tertinggi, hanya sekitar 28 persen produser wanita dan 21 persen produser eksekutif terlibat di dalamnya.

Studi ini juga menemukan fakta bahwa seorang sutradara wanita akan merekrut wanita lainnya untuk bekerja di belakang layar.

Kebanyakan editor wanita bekerja untuk 39 persen film dengan sutradara wanita dan 18 persen dari pria. Begitu juga dengan komposer wanita yang bekerja untuk 13 persen dari sutradara wanita dan 4 persen sutradara pria.

Namun terlepas dari itu, sebagian besar film (67 persen) masih enggan mempekerjakan nol sampai empat wanita di balik layar perfilman. Bahkan sebaliknya, rumah produksi memilih merekrut 10 pria atau lebih sebagai sutradara, penulis, dan posisi lainnya.

Sebuah organisasi non profit Women in Film yang menyadari ketidakseimbangan itu terus menyuarakan sistem bias di industri perfilman yang harus diubah. Ketidaksetaraan gaji serta diskriminasi kemampuan, strata sosial, dan ras menjadi perhatian organisasi. Mereka berbeda dengan Study of Women in Television and Film tetapi keduanya berbagi visi yang sama tentang wanita di industri perfilman.