Dimulainya Penghambaan Dagang pada China di Nusantara

JAKARTA - Peradaban pecinan di Indonesia ditandai oleh migrasi besar-besaran etnis China ke Nusantara. Mereka menjelma jadi aktor penting penggerak roda perekonomian. Sederet raja Jawa telah mengakui kerja mereka. Anggapan itu berlangsung hingga kini, bagaimana China dianggap sebagai negara 'sahabat' perniagaan Indonesia. Ini kisah dimulainya penghambaan Indonesia pada China dalam perdagangan.

Berdasar sejarah, pedagang-pedagang China telah datang ke daerah-daerah pesisir laut China Selatan sejak tiga ratus tahun sebelum masehi. Meski begitu pedagang China baru ramai tercatat mengunjungi Nusantara pada abad ke-11. Kehadiran pedagang China di Indonesia lalu jadi penanda pentingnya laut China Selatan sebagai jalur perniagaan. Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia jadi konsumen besar penerima suplai barang-barang China.

“Pakaian India dan China dibeli oleh kalangan elite yang lebih kaya berkat warna-warnanya yang cemerlang, polanya yang indah, serta kedudukannya sebagai barang langka. Tapi penduduk setempat pada umumnya selalu memakai pakaian produksi setempat,” ujar Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin (2014).

Karenanya, mereka yang yang awalnya hanya tinggal dalam jangka waktu yang pendek, perlahan-lahan mulai kerasan hidup di Negeri Zamrud Khatulistiwa. Mereka bahkan menetap dan menikah dengan warga setempat. Kemudian orang China memainkan peranan yang amat penting bagi kehidupan ekonomi dan sosial di pedalaman kerajaan-kerajaan Jawa.

Peran penting orang China

Perdagangan orang China memberikan sumber pendapatan tahunan yang besar bagi kerajaan-kerajaan Jawa hingga abad ke-17. Disebut sejarawan Peter Carey, hal itu menjadi bukti bahwa orang-orang China telah berhasil menguasai posisi kunci perdagangan ekspor beras dan kayu jati di Jawa.

“Tumenggung Wiroguno, seorang pegawai yang kemudian tampil sebagai sebagai tokoh paling berpengaruh di Istana (Mataram) pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1646), tampaknya memperoleh kekuasaan yang kuat sebagai akibat kegiatan perdagangan yang begitu luas. Hal itu dapat dilakukan berkat kemampuannya menggunakan orang-orang Tionghoa perantara serta dalal beras untuk mengatur penjualan ekspornya di Batavia,” ungkap Peter Carey dalam buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa (2008).

Ketergantungan akan orang China terus berlanjut. Saking tergantung, baik kongsi dagang Belanda VOC maupun penguasa Jawa membutuhkan orang China dengan segala kegiatan mereka di bidang perdagangan. Kebutuhan akan peranan orang China tercermin dalam kedudukan administratif dan hukum istimewa yang diberikan kepada mereka.

Dengan demikian, pada setiap kota pelabuhan utama dan kota-kota perdagangan yang terletak di pinggir sungai, ditunjuklah syahbandar (mandor tol dan bea cukai) khusus untuk komunitas orang China, bersama-sama dengan syahbandar yang mengurusi para pedagang bumiputra.

Ilustrasi foto perdagangan di masa lampau (Sumber: Commons Wikimedia)

Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018) menggambarkan kedudukan orang China yang dianggap penting di Nusantara. Menurut Ong spesialnya Orang China terlihat dari kedudukan para opsir China sebagai pemegang pacht (hak pembelian/sewa). Pada abad ke-19 mereka menjadi alat negara dan bebas dari ketentuan surat jalan maupun keharusan bermukim di pecinan.

“Kesempatan ini mereka pakai untuk berdagang, sehingga para pemegang pacht merupakan sumber pekerjaan dan sekaligus patronage (majikan) di pecinan. Merekalah yang akhirnya menentukan siapa-siapa yang akan dipekerjakan pada pacht, yang berarti bebas berada di pedalaman dan memperoleh kesempatan berdagang,” tulis Ong Hok Ham.

Hubungan luar biasa lainnya, antara penguasa Jawa dan orang China tercermin pula lewat undang-indang tradisional orang Jawa. Yang mana, hukum tersebut menetapkan denda diyat –uang darah—yang dijatuhkan atas pembunuhan satu orang China haruslah dua kali lebih besar dibandingkan membunuh satu orang Jawa.

Dacin dan swipoa

Ada yang menarik dari kedatangan pedagang China ke Nusantara. Tiap pedagang China dikenal selalu membawa dua alat yang sangat khas dalam tiap aktivitas perdagangan di bumi pertiwi. Alat itu adalah timbangan bernampan satu (dacin) untuk menimbang, dan swipoa untuk menghitung.

Dikutip dari Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2: Jaringan Asia (2005), diketahui timbangan bernampan satu, yang dalam bahasa Melayu disebut dacin (bahasa China: dacheng) telah tercatat keberadaannya di Sumatra sejak akhir abad ke-16. Frederick de Houtman, kata Denys Lombard menyebut dacin sebagai alat utama orang China untuk menimbang lada di Aceh. Untuk itu, dacin yang dimaksud pastilah sebuah alat berkaliber besar, karena katanya alat itu harus digantungkan pada sebuah penyangga sehingga dapat mengukur berat setengah bahar (sekitar 70 kilogram).

Sedangkan swipoa tersebut adalah alat untuk menghitung yang berasal dari kata China Suanpan. Penyebutan paling kuno dari swipoa telah ditemukan terdapat di dalam Voyage Kapten Inggris Beeckman yang telah mengunjungi Kalimantan pada tahun 1714. Ia kemudian banyak mencatat hal-hal baru mengenai para pedagang di Banjarmasin.  

“Orang Banjar mengumpulkan jumlah atau perhitungan, seperti yang dilakukan orang China, dengan benda-benda kecil seperti cetakan Butlon, pada berbagai tongkat yang ditempatkan dalam dua kotak, dalam satu kotak. Ini mereka mendorong ke atas dan ke bawah dengan sangat gesit dengan jari mereka, dan sangat tepat dan cepat,” imbuh Beeckman dikutip Denys Lombard.

Tak hanya itu, Denys Lombard juga turut mencatat keterangan dari Comte de Hogendorp yang berkunjung ke Batavia sekitar tahun 1830. Menurutnya, di Batavia pedagang China sekecil apapun memiliki buku dagang yang selalu diisi dengan teliti. Hogendorp bahkan sampai berkelakar: sulit dibayangkan bahwa buku-buku dagang disusun oleh orang China tanpa bantuan swipoa.