Laporan PBB Sebut 500 Ribu Orang Meninggal Karena Obat Palsu di Afrika sub-Sahara Setiap Tahun
JAKARTA - Obat-obatan palsu dan di bawah standar telah menyebabkan hampir 500.000 kematian setiap tahun di Afrika sub-Sahara, klaim Kantor PBB untuk Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) dalam laporannya Hari Kamis.
Kurangnya akses ke perawatan kesehatan yang layak telah memberanikan para pedagang, yang terutama mengimpor obat-obatan ke wilayah Sahel, setelah mereka dialihkan dari rantai pasokan resmi dari China, Belgia, Prancis dan India.
Produk-produk itu kemudian dipindahkan melalui wilayah tersebut dengan mobil dan truk, sebagaimana dimuat dalam laporan 'Trafficking in Medical Products in The Sahel'.
Sebagian besar kematian terkait dengan pengobatan antimalaria palsu atau di bawah standar, yang menewaskan 267.000 orang di Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania dan Niger.
Sementara, malaria sendiri membunuh 593.000 orang di Afrika secara keseluruhan pada tahun 2021 menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), melansir The National News 2 Februari.
Sebanyak 169.271 kematian lainnya telah dikaitkan dengan antibiotik palsu dan di bawah standar yang digunakan untuk mengobati pneumonia berat pada anak-anak.
Lebih jauh, sekitar 40 persen dari obat-obatan yang ditemukan palsu diambil dalam rantai pasokan yang diatur, yang berarti obat-obatan yang diproduksi secara ilegal berhasil masuk ke sistem medis negara-negara Sahel.
Di luar risiko pemalsuan dan obat-obatan yang dibuat dengan buruk, dengan risiko paling ringan tidak berfungsi dan paling buruk menyebabkan kontaminasi racun, laporan itu juga memperingatkan obat yang sah digunakan dengan cara yang tidak sah yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi terhadap obat tahap awal seperti antibiotik dan antimalaria.
"Begitu produk (sah) dialihkan dari rantai pasokan, sangat sedikit (pengawasan) tentang bagaimana produk itu digunakan," jelas Francois Patuel, kepala Unit Riset dan Kesadaran UNODC.
"Jika Anda… meminta antibiotik di pasar, Anda akan dapat membelinya. Apakah itu antibiotik yang tepat yang harus digunakan, atau harus digunakan sama sekali, bukanlah sesuatu yang dikendalikan," lanjut Patuel.
"Ini berkontribusi terhadap resistensi bakteri dan resistensi antimalaria," tandasnya.
Ironisnya, keuntungan finansial dari perdagangan gelap dinikmati oleh banyak orang, termasuk karyawan perusahaan farmasi, aparat penegak hukum, dan pedagang kaki lima.
Agensi mengatakan, mereka melawan momok perdagangan obat-obatan. Sepanjang Januari 2017 hingga Desember 2021, operasi internasional berhasil menyita lebih dari 605 ton produk medis di Afrika Barat.
Pada tahun 2020, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyalahkan pandemi dan maraknya apotek daring sebagai penyebab ledakan obat palsu.
Baca juga:
- Soal Penjualan Jet Tempur F-16 ke Turki, Kongres AS Sebut Tergantung Persetujuan Keanggotaan NATO
- Buntut Balon Mata-mata, Menlu AS Antony Blinken Tunda Perjalanan ke China
- Pakar Peringatkan: Tanpa Perlindungan Jet Tempur hingga Artileri, Tank Abrams dan Leopard 2 hanya Sampah di Ukraina
- Polisi Brasil Lakukan Sejumlah Penggerebekan Terkait Penyelidikan Kerusuhan 8 Januari
"Penjualan obat-obatan palsu dan tidak standar adalah kejahatan yang tercela, dan penemuan pasokan medis palsu terkait COVID-19 saat dunia bekerja sama untuk melawan pandemi, membuat tantangan global ini semakin akut dan mendesak,” ujar Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria.
Mengutip Sputnik News, para peneliti membuat sejumlah rekomendasi untuk mencegah atau setidaknya mengurangi perdagangan obat palsu. Ini termasuk memperkuat kerja sama lintas batas, membangun sistem berbagi informasi yang efisien, dan merevisi undang-undang lama tentang produk medis yang diperdagangkan ke negara-negara Afrika.