Undang-Undang Koperasi Harus Segera Direvisi agar Kasus KSP Indosurya Tak Terjadi Lagi
JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan perbuatan terdakwa Henry Surya bukan merupakan tindak pidana melainkan perkara perdata. Sehingga, hakim dalam putusannya pada 24 Januari 2023, memvonis pemilik Koperasi Simpan Pinjam atau KSP Indosurya ini lepas dari segala tuntutan hukum.
Artinya, kata Pengamat hukum dari Universitas Mataram, Farizal, hakim melihat kasus tersebut dari sisi administrasi. Terdakwa Henry Surya terbukti melakukan kesalahan administrasi pengelolaan. Tak mampu mengelola dengan benar lembaga yang dipimpinnya hingga gagal membayar utang kepada anggotanya.
“Mungkin ada pengelolaan yang menyalahi aturan UU Koperasi atau Permenkop sehingga menyebabkan kerugian bagi anggota. Sehingga, hakim dalam putusannya menggunakan kalimat, “Terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perkara perdata (onslag van recht vervolging)’,” jelasnya kepada VOI, Selasa (31/1).
Sementara, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan hukuman pidana penipuan dan penggelapan, sesuai dengan berita acara penyelidikan dari kepolisian.
“Jadi memang menyikapinya bisa dari dua sisi, dari sisi perdata atau pidana. Dalam perkara KSP Indosurya, penasihat hukum berhasil meyakinkan hakim bahwa ini bukan merupakan kasus pidana, hanya terkait kesalahan prosedural koperasi. Acuannya tentu UU Koperasi, bukan KUHAP,” Farizal melanjutkan.
Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana justru berpendapat KSP Indosurya tidak memiliki legal standing sebagai koperasi, karena tidak pernah melakukan rapat anggota.
Berdasar temuan fakta lain, direktur tidak memiliki kartu keanggotaan dan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan seperti pembagian deviden atau sisa hasil usaha setiap tahunnya. Sehingga, Sumedana tetap menganggap perkara KSP Indosurya masuk ke ranah pidana.
Fakta Pidana
Ada sejumlah fakta persidangan lainnya yang membuktikan KSP Indosurya melakukan perbuatan tindak pidana. Semisal terkait pengumpulan dana anggota hingga Rp106 triliun. Namun, dari hasil audit terungkap ada 6.000 anggota yang uangnya tidak terbayarkan dan tidak kembali, dengan kerugian sebesar Rp16 triliun.
“Pengumpulan dana ini dilakukan secara ilegal dengan memanfaatkan kelemahan hukum perkoperasian, dijadikan alasan untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat,” kata Ketut dalam keterangan tertulisnya pada 30 Januari lalu.
Lalu, atas perintah Henry, sebagian dana tersebut dialirkan ke-26 perusahaan cangkang miliknya dan sisanya dibelikan aset berupa tanah, bangunan dan mobil atas nama pribadi dan atas nama PT Sun International Capital.
“Jadi, koperasi simpan pinjam hanya dalih semata-mata untuk mengelabui masyarakat agar mereka mengumpulkan uang ke KSP Indosurya dan seolah-olah untuk kepentingan dan kesejahteraan para anggota,” katanya.
Padahal, lanjut Ketut, perbuatan tersebut dilakukan untuk menghindari adanya pengawasan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta menghindari proses perizinan penghimpunan dana masyarakat melalui BI.
“Tidak ada perbuatan perdata sama sekali yang dilakukan oleh Henry Surya bersama terdakwa lainnya June Indira dan Suwito Ayub selaku pengurus KSP Indosurya. Justru, mereka memanfaatkan celah hukum dengan menggunakan tipu muslihat, memperdaya korban dalam hal ini nasabah dengan kedok koperasi, seolah-olah seluruh kegiatan menjadi legal,” paparnya.
Sehingga, Ketut menilai, “Vonis bebas majelis hakim untuk pemilik KSP Indosurya merupakan keputusan yang kurang tepat. Terkait ini, Kejagung siap melakukan kasasi.”
Farizal pun berpendapat, bila di tingkat kasasi jaksa penuntut umum bisa meyakinkan hakim bahwa KSP Indosurya melakukan pelanggaran terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) koperasi atau menjalankan juga praktik perbankan, perkara tersebut dapat masuk ke ranah pidana.
“Tapi, selama KSP Indosurya patuh menjalankan AD-ART dan sesuai dengan UU Koperasi, menurut saya, para terdakwa tidak akan bisa dijerat hukum pidana. Kecuali bila memang terbukti dia melakukan kegiatan-kegiatan perbankan seperti deposito atau simpan pinjam dengan bunga tertentu, dan sebagainya,” ucapnya.
Perbaharui UU Koperasi
Polemik penyikapan hukum semacam itu sebenarnya sudah sering terjadi dalam perkara yang berhubungan dengan koperasi, terutama kasus gagal bayar hutang.
Sebab, kata Farizal, UU Koperasi yang ada di Indonesia masih sangat lemah. Tidak pernah mengalami pembaharuan sejak 1992. Dalam aturan ini, segala kesalahan yang ada dalam koperasi merupakan kesalahan administrasi dan hukumannya hanya teguran tertulis hingga pencabutan izin. Tidak ada satupun yang mencakup hukuman pidana.
Belum lagi terkait pengawasan koperasi dan sistem penerapan simpan pinjam yang tidak jelas. Inilah kelemahan hukum koperasi di Indonesia.
“Tentu menjadi PR penting untuk anggota DPR dan pemerintah agar sesegera mungkin melakukan perubahan UU Koperasi. Sehingga nantinya, tidak ada lagi anggota-anggota koperasi yang merasa dirugikan,” imbuh Farizal.
Baca juga:
- Cuitan Satire Fadli Zon Soal Harga BBM
- Kredibilitas Polri Sebagai Penegak Hukum Kembali Dipertanyakan
- Paradoks Masyarakat Indonesia: Ketika Budaya Keramahan dan Sopan Santun Tak Berlaku di Media Sosial
- Tuntutan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa: Hanya Nafsu Kekuasaan, Bukan untuk Kepentingan Rakyat
Menko Polhukam Mahfud MD menyanggupi. Seperti yang sudah diberitakan VOI, Mahfud akan segera berkoordinasi dengan DPR dan Presiden. Menurut dia, salah satu poin yang akan direvisi terkait pengawasan karena UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur pengawasan yang kompleks layaknya UU Perbankan.
Saat ini, koperasi mengawasi dirinya sendiri sehingga Kementerian Koperasi dan UKM serta pemerintah maupun lembaga pengawas lain tidak bisa turut terlibat dalam fungsi pengawasan.
"Mohon perhatiannya kita akan mengajukan revisi UU Koperasi agar penipuan-penipuan yang berkedok koperasi ini bisa segera diakhiri dan ditangkal pada masa yang akan datang," ucap Mahfud usai Rapat Koordinasi dengan Menkop UKM, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta pada 27 Januari.