Kolaborasi TPIP dan TPID Mampu Redam Laju Inflasi Nasional

JAKARTA - Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai extra effort pengendalian inflasi yang dilakukan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) sudah cukup baik jika dibandingkan dengan negara lain.

Inflasi nasional Indonesia tercatat 5,51 persen. Sementara beberapa negara memgalami lonjakan inflasi yang sangat ekstrem, misalnya Argentina mencapai 94,80 persen, Turki 64,27 persen, Rusia 11,9 persen, dan Italia 11,6 persen.

Meski begitu, kata Riefky, untuk beberapa daerah masih ada isu pasokan dan musim sehingga perlu penguatan lebih lanjut.

“Sejauh ini progressnya sudah cukup baik dalam mengendalikan inflasi Indonesia yang walaupun tinggi, masih jauh lebih manageable ketimbang negara lainnya,” kata Riefky, Rabu, 18 Januari.

Untuk inflasi kuartal I-2023, Riefky memperkirakan masih berada di angka 5 persen. Hal ini karena ada momen bulan Ramadan atau puasa.

“Dugaan kami masih di atas 5 persen, mungkin di kisaran 5,2 hingga 5,4 persen karena di Q1 ini masih ada faktor musiman bulan puasa. Sehingga masih ada tekanan inflasi keatas walaupun trennya sedang menurun,” sebut Riefky.

Karena itu, Riefky mengatakan untuk menjaga inflasi, pemerintah harus menjaga domestik ekonomi dan juga nilai tukar. Menurut Riefky, inflasi Indonesia pada tahun ini akan berada pada kisaran 4 persen hingga 5 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

Prediksi tersebut masih seturut dengan target pemerintah. Di mana pemerintah menargetkan tingkat inflasi pada 2023 mencapai sasaran 2 hingga 4 persen dengan asumsi di APBN Tahun Anggaran 2023 di 3,6 persen.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan Perum Bulog untuk mengendalikan harga beras yang meningkat di 79 daerah.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan ada 23 provinsi yang tingkat inflasinya berada di atas realisasi inflasi nasional.

“Ini yang menjadi catatan, Sumatera Barat inflasinya 7,43 persen; Sulawesi Tenggara 7,39 persen; Kalimantan Selatan 6,99 persen; Riau 6,81 persen dan daerah lainnya. Jadi terhadap 23 provinsi ini Pak Gubernur mohon diperhatikan,” ujar Airlangga.

Neraca Komoditas Pangan Harus Jelas dan Tepat

Sementara itu, Pakar ekonomi dari Universitas Jember (Unej) Adhitya Wardhono mengungkapkan beras selalu menjadi polemik tiap tahunnya. Terlebih di penghujung 2022, Indonesia sempat impor beras. Komoditas beras masuk komoditas pangan yang harganya perlu dipantau.

Karena itu, kata Adhitya, neraca komoditas yang diterapkan oleh Badan Pangan Nasional (BPN) harus jelas dan tepat serta mampu berkoordinasi dengan stakeholder terkait secara lebih progresif.

“Komoditas ini masih menjadi komoditas utama yang menyumbang inflasi di Januari 2023. Merujuk info dari BI (2023), paling tidak beras merupakan salah satu dari empat komoditas pangan penyumbang inflasi, selain cabai rawit, cabai merah dan bawang merah,” ujarnya.

Menurut Adhitya, TPIP-TPID harus berkolaborasi untuk memantau dan memastikan pergerakan komoditas beras. Mereka juga harus turun ke pasar-pasar untuk memastikan bahwa stok beras nasional cukup.

“Jika dirasa ada pergerakan harga yang dapat menganggu daya beli masyarakat, khususnya masyarakat pra sejahtera dan menjadi pemantik inflasi maka kebijakan strategis lintas lembaga perlu dilakukan,” tegasnya.

Adhitya menilai, strategi pengendalian harga seperti operasi pasar dan pasar murah sangat diperlukan dalam jangka pendek.

Apalagi saat ini Indonesia tengah berupaya pulih dari pandemi, sehingga perlu kontiyuitas dan konsistensi pengendalian inflasi pangan.

“Masyarakat masih mengalami memar ekonomi karena pandemi. Karenanya operasi pasar murah sembako, terutama beras, minimal dapat mengurangi shock kenaikan harga pangan dalam jangka pendek,” tambahnya.

Meski demikian, Adhitya menekankan pentingnya kebijakan jangka panjang. Sebab strategi pasar murah ataupun operasi pasar berpotensi memunculkan moral hazard di pasar ketika dilakukan dalam jangka panjang.

Seperti peningkatan produktivitas padi secara ekstensif; tata kelembagaan antar lembaga terkait; pembenihan bibit unggul yang tahan perubahan iklim dan hama; sistem distribusi pangan yang perlu koordinasi sangat ketat antara pemangku kepentingan.

“Maka dalam kaitannya dengan volatile food inflation, pola meredam inflasi pangan dengan koordinasi antar lembaga negara dan pemerintah menjadi agenda penting yang harus segera dilakukan di awal tahun ini,” ungkapnya.