Pengakuan Pemerintah Soal Pelanggaran HAM Berat di Indonesia adalah Kemajuan dan Harus Dituntaskan
JAKARTA - Edy Kaha (38), hingga saat ini, masih memendam trauma atas kejadian yang dialaminya pada Mei 1998. Pusat pertokoan di Glodok, Jakarta yang berlokasi tak jauh dari rumahnya terbakar. Sejumlah orang terus melakukan sweeping, mencari toko-toko yang bisa dijarah. Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu peristiwa yang oleh Pemerintah Indonesia diakui sebagai pelanggaran HAM berat.
“Saya lihat orang-orang menjarah televisi, mesin cuci, baju, sampai bawa-bawa troli buat jarah sembako. Tanpa takut ditangkap atau diteriaki maling,” kata warga Kemayoran, Jakarta Pusat ini kepada VOI, Selasa (17/1).
Ketika itu, Edy masih berusia 15 tahun. Dia masih ingat jelas para guru tiba-tiba memerintahkan seluruh murid pulang ke rumah.
“Saya sempat bertanya, kenapa memang? Cepat pulang, kamu nanti diincar,” Edy mengisahkan.
Selama beberapa hari, dia bersama kedua orangtua dan dua saudaranya tidak pernah keluar rumah. Seluruh kerabat saling menanyakan kabar hanya menggunakan telepon rumah.
“Beberapa kerabat ada yang sudah ke luar negeri cari aman. Saat lihat berita di TV, saya kaget juga karena ternyata serentak terjadi di mana-mana. Saya kira hanya di Jakarta saja. Bahkan, kondisinya benar-benar rusuh,” katanya.
Hingga saat ini, dia tidak mengerti kenapa Tionghoa yang menjadi incaran.
“Kami dikesankan beda, dipanggil ‘Cina’, dan lainnya. Padahal, kami adalah murni orang Indonesia, lahir di Indonesia, sama seperti etnis-etnis lainnya. Kami tidak mungkin bisa memilih lahir dari etnis mana,” kata Edy.
Berdasar data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), lebih dari 1.000 orang menjadi korban dalam peristiwa Mei 1998 di Jakarta.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Ester Indahyani Jusuf menilai peristiwa Mei 1998 dan sejumlah pelanggaran HAM berat pada masa lalu masih menjadi catatan hitam sejarah bangsa yang tak pernah terselesaikan secara hukum, baik nasional maupun internasional. Sebab, selalu berbenturan dengan proses politik.
“Sesuai dengan UU Pengadilan HAM, proses peradilannya harus melalui Pengadilan HAM Adhoc yang dibentuk berdasar usul DPR RI dan Keputusan Presiden. Proses politik inilah yang menjadi benteng penghambat proses yuridis untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili,” tutur Ester kepada VOI, Selasa (17/1).
Pembuktiannya pun sulit. Pelanggaran HAM berat masa lalu selalu merujuk garis komando. Dilakukan oleh kelompok yang punya kekuasaan dan modal sangat kuat. Menurut Ester, pelaku atau operator di lapangan, para saksi dan korban mungkin akan memilih menutup mulut, mereka paham risiko. Tak ada jaminan keamanan buat mereka secara pribadi atau untuk keluarganya.
Namun, adanya Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau disebut Tim PPHAM dapat dimaknai sebagai kemajuan dan upaya kreatif dari sisi penanganan korban.
“Tentu sangat baik, negara sudah mengakui dan mau bertanggung jawab,” ucap Ester.
Mekanisme yang Jelas
Seperti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 11 Januari lalu: “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa di Tanah Air.”
“Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Pemerintah akan berupaya dengan sungguh-sungguh mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada masa yang akan datang,” tambah Jokowi.
Kendati begitu, Ester menyarankan agar mekanisme pemulihan hak korban dirancang dengan jelas agar nantinya tidak terjadi konflik.
“Harus ada parameternya dulu biar tidak ada kekeliruan. Siapakah korbannya dan siapa ahli warisnya. Jangan sampai ada yang mengaku-ngaku jadi korban. Lalu, menentukan kompensasi. Apakah disamakan dengan standar asuransi atau bagaimana, dan lain sebagainya,” tutur Ester.
Selanjutnya, terkait dengan pencegahan. Setiap jenis pelanggaran HAM berat memiliki sumber penyebab, gejala, karakteristik, dan variabel berbeda. Contoh genosida atau segala tindakan yang bertujuan menghancurkan kelompok, bangsa, etnis, ras, atau agama.
Pola yang lazim digunakan, menurut Ester, pihak yang menghendaki genosida merancang terlebih dahulu sumber penyebab. Bisa lewat menanamkan penyakit sosial seperti feodalisme, rasialisme, fanatisme buta, atau penanaman segala nilai yang berdampak dehumanisasi.
Penyakit tersebut kemudian diproduksi agar membesar dan terstruktur, sehingga memiliki daya rusak. Produksi dilakukan melalui berbagai cara. Seperti lewat literatur, ajaran para pendidik, orangtua, pemimpin umat, atau kepala adat.
“Era saat ini, produksi nilai dapat sangat masif lewat perkembangan teknologi. Kita bisa lihat gejala munculnya kebencian pada kelompok sasaran. Kelompok ini distigma sebagai kelompok jahat, dibatasi ruang gerak, dicari atau diciptakan kesalahan, dan dijadikan musuh bersama. Posisi ini membuat pemusnahan manusia pada kelompok sasaran mendapat dukungan. Minimal tidak mendapat perlawanan yang berarti,” kata Ester menerangkan.
Secara sederhana, skemanya adalah adanya variabel berupa nilai, doktrin, ideologi, dan alasan genosida. Juga, ada variabel penyebar dan pemeliharanya.
“Setelah masa pemuaiannya telah cukup, situasi matang, maka hanya perlu pemicu kecil untuk terjadinya genosida,” Ester melanjutkan.
Baca juga:
- Kasus Kematian Mahsa Amini: Perbandingan Soal Hijab dan Hak Perempuan di Iran dan Arab Sudi
- Ketika Konservasi Penyu Berbenturan dengan Industri Pariwisata dan Ritual Religi di Bali
- Menanti Langkah Megawati Membawa PDIP Memenangi Pemilu Ketiga Kali
- Ketika Pemimpin Agung Iran Menjadi Olok-Olok Charlie Hebdo karena Penindasan Hak Perempuan
Sehingga, butuh tindakan preventif. Menurut Ester, hal mendasar adalah perlawanan terhadap semua nilai atau doktrin jahat. Namun, memang agak sulit jika agen penyebar penyakit sosial adalah tokoh adat atau agama, dituakan atau sangat dihormati, apalagi jika punya kekuasaan serta banyak tindakan kemurahan hati di masyarakat.
“Itu semua dirancang dengan baik dan benar kalau memang ingin mewujudkan keadilan. Memang tidak mudah, tapi setidaknya ada langkah-langkah preventif yang harus dilakukan bila sudah muncul gejalanya,” kata Ester.
Bentuk Tim Khusus
Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Mugiyono mengatakan Presiden akan segera menerbitkan Inpres tentang penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu (PPHAM). Membagi tugas kepada 17 kementerian/lembaga non-kementerian.
Serta, membentuk tim khusus yang akan mengevaluasi dan mengendalikan pelaksanaan dari setiap rekomendasi ini.
“Entah dinamakan satgas atau apapun nantinya. Intinya, pemerintah bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan HAM masa lalu,” kata Mugiyono kepada VOI, Selasa (17/1).
Apa yang menjadi kebutuhan korban, dampak-dampak apa saja yang dialami sebagai korban pelanggaran HAM berat. Ini yang kemudian akan dipenuhi oleh negara sebagai bentuk-bentuk pemulihan.
“Bentuknya ada material dan non material, ada yang individual ada yang kolektif. Nanti tim baru yang dibentuk akan mendetailkan lagi,” ucapnya.
Namun, kata Mugiyono, hanya korban dari 12 kasus pelanggaran HAM yang menjadi rekomendasi tim PPHAM, yakni:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003
“Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa kasus lain seperti kasus Munir, kasus KM 50, Kanjuruhan, dan 27 Juli tidak masuk, karena kasus-kasus tersebut belum pernah diselidiki dan disimpulkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat,” ucapnya.
Ester mengajak semua pihak bisa saling hormat-menghormati, menjaga keutuhan NKRI.
“Kita harus mawas diri agar tidak menjadi penyebar doktrin atau nilai yang jahat. Saya serukan kepada Anda, para pemimpin, pendidik, atau jika Anda adalah tokoh yang dihormati. Bersikaplah kritis terhadap tiap ide atau pemikiran,” kata Ester.
“Jika pemimpin Anda bukan tokoh yang mau memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, ini adalah saatnya Anda bangkit dan menjadi pemimpin, pembela manusia, pembentuk sistem yang melindungi individu dan masyarakat,” imbuh Ester lagi.