Kaleidoskop 2020: Ekonomi Indonesia 'Terpapar' dan 'Terkapar' karena COVID-19
JAKARTA - Tahun 2020 hanya tinggal beberapa hari. Selama setahun belakangan ini, dunia harus berhadapan dan melawan pandemi COVID-19. Virus ini berhasil membuat seluruh sektor babak belur, bahkan membuat ekonomi global maupun nasional tumbuh di zona negatif.
Mari kita mengulas jejak pandemi COVID-19, sejak virus itu pertama kali dikonfirmasi hadir hingga merambah ke Indonesia. COVID-19 pertama kali dikonfirmasi kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di China pada 31 Desember.
Otoritas China dan WHO pada pertengahan Januari 2020 menyimpulkan bahwa virus yang menyerang adalah virus corona. Virus dari keluarga yang sama dengan SARS dan MERS. Virus ini bernama 2019-nCoV. Namun nama itu diganti WHO pada 19 Februari 2020 menjadi SARS-CoV-2.
Pada 2 Maret, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Terawan Agus Putranto yang saat itu menjadi Menteri Kesehatan mengumumkan ditemukan kasus pertama COVID-19 di Tanah Air. Pada saat itu, terdapat dua orang yang dikonfirmasi positif. Keduanya sempat kontak dengan warga negara Jepang yang datang ke Indonesia.
Sejak saat itu, kasus COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Selama 10 bulan pandemi COVID-19 di Indonesia telah mencapai 650.000 kasus, dan yang meninggal akibat virus tersebut sudah menembus 20.000 orang.
Rupiah dan IHSG Anjlok Sangat Dalam
Pandemi COVID-19 tak hanya menyerang sisi kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi dunia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah semakin jeblok melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat, 13 Maret. Hal ini disebabkan semakin memburuknya sentimen pelaku pasar yang memicu aksi jual masif.
Pada periode itu, kurs rupiah ambles 2,07 persen ke Rp14.810 per dolar AS. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 13 November 2018. Mayoritas mata uang utama Asia memang melemah melawan dolar AS pada perdagangan saat itu, tetapi rupiah yang paling parah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah di perdagangan pasar spot pada 19 Maret pukul 14:52 WIB, rupiah melemah ke angka Rp15.850 per dolar AS. Dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya rupiah melemah 4,28 persen.
Rupiah pun terus melemah hingga mencapai posisi Rp16.575 per dolar AS pada 23 Maret, yang merupakan posisi terendah sejak awal tahun. Setelah mencapai posisi terdalam, pergerakan rupiah cenderung fluktuatif, namun tetap bertengger di level Rp16 ribu-an.
Kondisi ini disebabkan oleh kekhawatiran pasar terhadap perekonomian. Sebab, hampir semua negara melakukan penguncian wilayah (lockdown) dan pembatasan sosial sehingga aktivitas ekonomi bak mati suri. Imbasnya, pelaku pasar beramai-ramai mengalihkan aset mereka dari negara berkembang ke negara maju yang dinilai lebih aman, yakni AS.
Rupiah baru meninggalkan level Rp16 ribu-an pada 9 April ke level Rp15.880 per dolar AS. Akhirnya rupiah kembali ke posisi Rp14 ribu pada 6 Mei, tepatnya Rp14.995 per dolar AS.
Saat ini, rupiah terus konsisten berada di level Rp14 ribu-an. Hingga perdagangan 23 Desember nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tipis 5 poin atau 0,03 persen ke level 14.200. Penguatan rupiah terjadi bersamaan dengan tren apresiasi mata uang Asia terhadap dolar AS.
Kondisi indeks harga saham gabungan (IHSG) pun tak jauh berbeda. Sejak awal tahun hingga perdagangan 8 Desember, IHSG terkoreksi sebesar 5,64 persen ke level 5.944. Padahal, IHSG berhasil menguat ke level 6.283 saat membuka perdagangan awal tahun.
Posisi 6.000-an masih dipertahankan selama Januari. Namun, akhir Januari IHSG mulai meninggalkan level tersebut menjadi 5.940. Laju indeks saham terus merosot hingga meninggalkan level 5.000-an menjadi 4.895 pada 12 Maret.
Kondisi tersebut membuat pasar kalang kabut, bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat beberapa kali melakukan pembekuan perdagangan sementara atau trading halt menindaklanjuti Surat Perintah Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan.
Hal ini dilakukan karena khawatir kepanikan atas COVID-19 membuat investor berbondong-bondong meninggalkan pasar modal. Atas keputusan itu, jika terjadi penurunan yang sangat tajam dalam 1 hari, maka trading halt akan ditetapkan.
Jika penurunan IHSG mencapai sebesar 5 persen, akan dilakukan trading halt 30 menit. Namun, jika IHSG mengalami pelemahan 5 persen trading halt dilakukan lagi 30 menit, dan kembali dilakukan hal sama jika mengalami penurunan 10 persen. Selain itu juga diterapkan trading suspend bila IHSG turun hingga 15 persen.
Sejak diberlakukan kebijakan itu, setidaknya sudah enam kali perdagangan saham dikenakan trading halt, lantaran sudah terjun hingga 5 persen lebih, yakni pada 12 Maret, 13 Maret, 17 Maret, 19 Maret, 22 Maret, dan 30 Maret 2020.
Akibatnya, pada 24 Maret 2020 IHSG sudah menyentuh level 3.937. Padahal, di awal tahun IHSG berada di level 6.300-an. Meski demikian, pada 26 Maret 2020, IHSG berbalik arah dan naik begitu tinggi hingga 10,1 persen ke level 4.338.
Trading halt kembali terjadi ketika kasus COVID-19 meningkat pasca pelonggaran PSBB diberlakukan. Pada 10 September 2020 IHSG anjlok 5 persen atau melemah 257,5 poin dan berhenti di level 4.891.88.
Namun, efek pengumuman PSBB Jakarta itu hanya sehari saja. Sebab, pada perdagangan Jumat 11 September, IHSG ditutup menguat 2,56 persen dan kembali ke level 5.016.
Tren kenaikan IHSG masih berlanjut. Puncaknya IHSG kembali ke level 6.012 pada Senin, 12 Desember. Namun, pada peradangan 24 Desember, IHSG ditutup melemah 14 poin atau 0,24 persen ke level 6.008.
Kuartal II Pertumbuhan Ekonomi Terkontraksi
Imbas pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 terkontraksi sangat dalam. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan angka ini naik memburuk dari kuartal I 2020 yang mencapai 2,97 persen dan kuartal II 2019 sebesar 5,05 persen. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berdasarkan harga konstan pada kuartal II 2020 sebesar Rp2.589,6 triliun.
"Maka perekonomian Indonesia kuartal II 2020 yoy dibandingkan kuartal II 2019 kontraksi 5,32 persen. Kalau kita bandingkan dengan kuartal I 2020 q-to-q, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus 4,19 persen," katanya, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 5 Agustus.
Sementara itu, lanjut dia, secara kumulatif semester I 2020 terhadap periode yang sama tahun lalu, mengalami kontraksi sebesar 1,26 persen. Kontraksi sebesar 5,32 persen itu merupakan yang terendah sejak kuartal I tahun 1999. Ketika itu, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 6,13 persen.
Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 ini juga yang terburuk sejak krisis 1998. Waktu itu pertumbuhan Indonesia minus 16,5 persen sepanjang 1998. Sementara itu pada kuartal II 2008 lalu, saat krisis finansial global melanda, Indonesia masih sanggup tumbuh 2,4 persen. Lalu secara keseluruhan sepanjang tahun pada krisis 2008, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6,1 persen.
Pengumuman BPS ini juga mengonfirmasi kontraksi kuartal II 2020 lebih dalam dari prediksi Kemenkeu di kisaran minus 3,8 persen. Bahkan, lebih buruk dari batas bawah prediksi Kemenkeu di angka minus 5,1 persen.
Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 ini disebabkan oleh kontraksi di berbagai komponennya. Salah satunya dari komponen pengeluaran.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kontraksi ekonomi di kuartal II 2020 diakibatkan implementasi kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menyebabkan aktivitas ekonomi terbatas.
Sri menyampaikan, pada April sampai dengan Mei 2020, aktivitas ekonomi nyaris tidak bergerak. Sehingga, konsumsi yang menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi tidak mampu tumbuh positif di kuartal II 2020.
Kendati demikian, relaksasi kebijakan PSBB pada Juni 2020 lalu memberikan sinyal mulai kembalinya aktivitas ekonomi. Meski demikian, itu sebenarnya belum bisa menyokong pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020.
"Kami terus menerus memerhatikan dinamika ekonomi dan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, selain menganalisa data yang ada, terus mendesain meminimalkan dampak COVID-19 terhadap kegiatan ekonomi maupun sektor keuangan," katanya, dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu, 5 Agustus.
Omnibus Law Cipta Kerja Terbit
Di tengah krisis akibat pandemi COVID-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Ominus Law Cipta Kerja. Padahal, tidak sedikit yang menolak kehadiran UU sapu jagat ini.
Pada 5 Oktober, beleid ini resmi disahkan. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meyakini disahkan UU tersebut di masa pandemi COVID-19 merupakan langkah yang tepat. Sebab, dia percaya Omnibus Law bisa menjadi pembalik kondisi ekonomi yang sudah terkapar akibat pandemi.
"Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan ini sebagai game changer medium to long term, yang tentunya akan membuat lapangan kerja yang lebih berkualitas," ucapnya dalam acara Business, Finance & Accounting Conference yang digelar IAI, Selasa, 8 Desember.
Kata Airlangga, kehadiran UU Cipta Kerja ini dapat menjadi solusi terkait masalah pengangguran di Indonesia. Sebab menurutnya, UU ini bisa menciptakan lapangan kerja baru untuk menyerap pengangguran yang terkena badai PHK di masa pandemi.
Selain itu, kata Airlangga, dirinya percaya UU sapu jagat ini juga dapat menimbulkan kemudahan iklim berusaha serta mendorong usaha menengah dan kecil menjadi jaring penyelamat dan pengaman pascapandemi.
"Waktu disahkannya undang-undang ini dirasakan tepat, karena ini akan membantu mengurangi dampak negatif terhadap terjadinya masyarakat kehilangan pekerjaan sebesar 29,12 juta penduduk di usia kerja," ucapnya.
Adapun angka 29,12 juta merupakan jumlah penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 seperti data yang dirilis oleh BPS, bukan yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta orang, persentase penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 sebesar 14,28 persen.
Mantan Menteri Perindustrian ini berharap, klaster-klaster yang ada di dalam UU Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi, mendorong daya saing, serta memberikan perlindungan bagi pekerja.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pemerintah telah menyelesaikan peraturan turunan dari pada UU Cipta Kerja dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan usulan dalam penyiapan tim perumusan dari pada seluruh pelaksanaan UU Cipta Kerja. Serta telah membentuk tim aspirasi yang diharapkan bisa bekerja dalam 2 bulan ke depan.
Indonesia Resmi Resesi
Belum berakhirnya pandemi menyebabkan banyak negara masuk ke jurang resesi ekonomi. Salah satunya Indonesia. Setelah banyak diramalkan sejumlah pihak, Indonesia akhirnya benar-benar masuk ke jurang resesi pada kuartal III 2020, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,49 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Indonesia mengalami resesi usai dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah terlebih dulu minus 5,32 persen.
Salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia yang anjlok diyakini karena daya beli masih lemah. Data BPS menunjukkan, konsumsi rumah tangga masih terkontraksi minus 4,04 persen (yoy) pada kuartal III 2020.
Sementara, konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2020 juga sempat menyentuh di level minus 5,52 persen (yoy). Meski demikian, konsumsi rumah tangga kuartal III 2020 dinyatakan lebih baik dari kuartal sebelumnya, yakni tumbuh 4,70 persen (qtq).
Direktur Riset Institute For Development of Economics and Finance Berly Martawardaya menjelaskan, resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19 tidak hanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan banyak peluang.
"Krisis justru banyak peluang terbuka. Jangan hanya melihat bahayanya saja tetapi juga harus melihat potensinya. Salah satunya peluang transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," tuturnya, dalam diskusi virtual, Jumat, 13 November.
Senada, Plt Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan mendorong perbaikan iklim investasi di tengah pandemi. Meski mengalami resesi, Indonesia harus mampu menangkap peluang investasi. Sebab, hal tersebut mampu menyelamatkan Indonesia dari resesi yang lebih dalam.
"Di tengah perekonomian yang melambat ini investasi diharapkan akan jadi motor penggerak utama dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, BKPM akan terus bekerja keras dalam menarik investasi masuk ke Indonesia," tutur Nurul.
Sektor Ekonomi Menghantam Dunia Bisnis, Khususnya Ritel
Pandemi yang awalnya menghantam sektor kesehatan mulai menyebar ke berbagai sektor, termasuk ekonomi. Akibat terbatasnya mobilitas masyarakat dan menurunnya tingkat konsumsi, membuat dunia bisnis babak belur, khususnya ritel.
Toko ritel maupun pusat perbelanjaan atau mal mulai berguguran satu per satu di tengah pandemi COVID-19. Terbaru, Mal Golden Truly resmi menutup operasionalnya pada 1 Desember 2020.
Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebut, penyebab pusat perbelanjaan atau dalam hal ini Golden Truly karena tertekan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Seperti diketahui, selama masa PSBB transisi di Jakarta, pasar dan mal diperbolehkan beroperasi dengan pengunjung maksimal 50 persen dari kapasitas. Jam operasional pasar diatur pengelola pasar. Adapun pusat perbelanjaan dan mal beroperasi mulai pukul 09.00-21.00 WIB.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, kondisi pusat perbelanjaan sampai dengan saat ini masih dalam kondisi terpuruk. Hal ini karena tingkat kunjungan yang masih sangat rendah dan daya beli masyarakat belum pulih.
"Banyak daerah juga melakukan pembatasan pengunjung pusat perbelanjaan sebesar 50 persen dari kapasitas. Kalaupun batas maksimal tersebut tercapai maka masih belum bisa menutupi biaya operasional," tuturnya, saat dihubungi VOI, Rabu, 2 Desember.
Menurut Alphonzus, setelah PSBB transisi di wilayah Ibu Kota berjalan, belum pernah kapasitas pengunjung mal mencapai batas maksimal, yakni 50 persen. Faktor lain penyebab tumbangnya pusat perbelanjaan adalah kemampuan setiap pusat perbelanjaan untuk bertahan berbeda-beda.
Sebelumnya, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) juga menutup gerainya hingga akhir 2020. Total gerai yang sudah ditutup adalah 13.
Dalam laporannya ke Bursa Efek Indonesia pada Sabtu, 28 November 2020, perusahaan dengan kode saham LPPF ini menyebutkan sebanyak 6 outlet direncanakan akan ditutup.
Adapun rinciannya adalah sebanyak 4 gerai berada di Pulau Jawa, 1 di wilayah Bali, dan 1 di Pulau Sulawesi. "Dengan demikian, jumlah outlet kami yang akan beroperasi pada akhir 2020 nanti adalah sebanyak 147 dari sebelumnya 153," demikian pernyataan manajemen.
Perusahaan juga memastikan pihaknya tidak akan membuka outlet-outlet baru pada kuartal IV tahun 2020 dan kuartal I tahun 2021 mendatang.
Kemudian, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) juga terpaksa harus gulung tikar. Ramayana mengakui bila COVID-19 membuat penjualan perusahaan mengalami penurunan.
Direktur Keuangan Ramayana Lestari Sentosa, Suryanto menuturkan bila selama masa tanggap darurat atas penyebaran COVID-19 perseroan telah menutup sementara sebagian toko, sampai dengan kondisi yang memungkinkan untuk dibuka kembali.
Tak hanya melakukan penutupan operasional gerai Ramayana Depok sehubungan dengan penyebaran wabah COVID-19 yang melanda Indonesia. Perseroan juga mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 84 karyawan yang berada di gerai tersebut.
Ritel fesyen asal Swedia yaitu H&M juga telah mengumumkan akan menutup 170 toko di seluruh dunia tahun ini, atau sekitar 40 persen dari tokonya. Lokasi yang terkena dampak pasti belum diumumkan. H&M melaporkan penurunan 50 persen penjualan selama kuartal kedua 2020. Karena toko-toko ditutup selama penguncian di seluruh dunia.
Tak hanya H&M, Victoria Secret juga berencana untuk menutup 250 toko di AS dan Kanada secara permanen dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini akan terjadi setidaknya hingga 2022.
Hal serupa juga dialami oleh toko fesyen dengan brand Zara, Inditex akan menutup 1.200 toko di seluruh dunia pada tahun 2021. Sebagai gantinya akan fokus pada perluasan toko yang lebih besar. Perusahaan juga berencana untuk mendorong bisnis online. Pengecer pakaian asal Spanyol itu menargetkan seperempat penjualan didapat dari online pada tahun 2022.
Executive Director Retailer Services Nielsen Indonesia Yongky Susilo memprediksi, ritel yang menjadi korban pandemi belum selesai. Dirinya merasa masih akan ada lagi yang bakal menutup tokonya. Hal ini jika pandemi COVID-19 tidak berhenti.
Yongki menjelaskan, industri ritel pada dasar sudah dalam beberapa tahun terakhir dalam keadaan tertekan. Masa terendah performa industri ini adalah ketika Pilpres.
"Intinya memang sudah lama ritel kita itu slow banget. Waktu pemilu sempat jatuh, biasa lah tahun pemilu orang pada takut belanja," tuturnya.
Tahun lalu, kata Yongki, industri ritel mulai sedikit bangkit. Sayangnya tiba-tiba pandemi COVID-19 muncul. Pandemi telah membatasi pergerakan masyarakat. Bahkan, masyarakat menengah ke atas saat ini masih cenderung takut untuk berbelanja dan memilih menumpuk uangnya di bank.
Kondisi itu membuat pelaku ritel sulit mendapatkan pemasukan. Sementara mereka tetap harus mengeluarkan biaya-biaya, mulai dari gaji pegawai, sewa tempat, hingga pajak. "Akhirnya cashflow-nya habis, enggak bisa bertahan lagi," katanya.