Canggih! Atasi Ancaman Penyusutan Lahan, UMY Kembangkan Teknologi Padi Apung
JAKARTA - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengembangkan teknologi padi apung sebagai solusi untuk menghadapi ancaman penyusutan luas lahan pertanian potensial di Tanah Air.
"Kita ini kan banyak kehilangan lahan subur di Pulau Jawa sekitar 1.400 hektare per tahun sehingga harus mencari alternatif lahan yang lain," kata Rektor UMY Prof Gunawan Budiyanto seusai acara Panen Bersama Demplot Padi Teknologi Apung di Green House Fakultas Pertanian UMY, Bantul, Antara, Rabu, 4 Januari.
Dengan mengembangkan sistem pertanian padi terapung, kata Gunawan, UMY berupaya mendukung ketahanan pangan nasional sebab dapat dikembangkan di lahan marginal atau tidak subur, rawa, maupun lahan yang rentan tergenang banjir.
Ia mengatakan teknologi padi apung yang dikembangkan para peneliti dari Program Studi Agroteknologi UMY telah diterapkan di Desa Muhuran, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara dan Desa Minta, Kutai Barat, Kalimantan Timur sejak November 2021.
Wilayah itu memiliki hamparan lahan rawa gambut yang kerap tergenang luapan air dari sungai Mahakam.
"Salah satu ciri lahan gambut pada umumnya kondisinya selalu tergenang dipengaruhi pasang surut air laut atau sungai. Sehingga kalau kita tanam padi dengan cara biasa sebelum panen sudah terendam air," kata dia.
Dengan memanfaatkan sumber daya lokal, Gunawan berharap masyarakat lokal di Kalimantan Timur dapat mengadopsi teknologi tersebut sehingga produktivitas padi di wilayah itu bisa berkelanjutan.
"Teknologi yang kami kembangkan 100 persen menggunakan sumber daya lokal. Ini juga menjadi keuntungan tersendiri bagi kelestarian teknologi tersebut," ujar dia.
Tenaga Ahli Fakultas Pertanian UMY Mulyono mengatakan teknologi padi apung yang diterapkan di Kalimantan Timur telah dua kali panen dengan hasil mencapai 4 ton sampai 5 ton per hektare dengan padi varietas IR64.
Untuk mengembangkan teknologi terapung itu, kata dia, dibutuhkan bambu yang kemudian dirakit untuk meletakkan media tanam.
Media tanam yang dikembangkan di Kalimantan Timur, ujar Mulyono, berupa serbuk gergaji, kotoran walet, hingga rumput kiambang yang dikomposkan lalu diletakkan dalam pot atau gelas plastik.
Masing-masing pot kemudian diisi bibit padi yang telah berusia 10 hari.
"Biaya awalnya memang lebih tinggi tetapi untuk selanjutnya hanya modal untuk bibit," kata dia.
Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat UMY Gatot Supangkat mengatakan sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim terutama faktor intensitas hujan yang berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi, dan kualitas hasil.
Baca juga:
- Sedang Bersama Wanita, Terduga Pelaku Mutilasi di Bekasi Ditangkap Polisi
- Jasad Wanita Korban Mutilasi di Bekasi Dipotong Pakai Gergaji Listrik
- Mayat Wanita Korban Mutilasi di Bekasi Sudah Diketahui Identitasnya
- Hasil 4 Simulasi Pilpres 2024 versi Survei Indikator Politik: Pasangan Ganjar-Erick Paling Kuat
Sementara, intensitas hujan yang tinggi dan tidak menentu mengakibatkan kondisi lahan pertanian mengalami banjir atau tergenang air.
"Karena itu diperlukan suatu teknologi inovasi terkait sistem pertanian. Salah satu inovasi teknologi budidaya pada lahan rawan banjir dan rawa yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terapung yang UMY kembangkan ini," kata Gatot.