JAKARTA - Institut Pertanian Bogor (IPB) University hingga saat ini memiliki 107 varietas padi dan tanaman-tanaman pengganti gandum sebagai solusi untuk peningkatan produksi pangan beras di tengah tantangan krisis akibat perubahan iklim dan situasi ekonomi tidak stabil efek perang Rusia dan Ukraina.
"Jadi, memang yang pertama, krisis pangan ini menjadi ancaman, karena apa, karena faktor perubahan iklim dan kedua adalah faktor geopolitik karena Rusia dan Ukraina sehingga terjadi kenaikan (harga) energi dan kenaikan harga pupuk," jelas Rektor IPB University Arif Satria di Bogor, dikutip dari Antara, Selasa 10 Januari.
Arif mengemukakan memang IPB sudah menganalisis bahwa itu akan memberikan dampak kepada ketersediaan pangan di dalam negeri, khususnya bahan pokok beras kalau Indonesia tidak segera melakukan langkah-langkah kongkret untuk meningkatkan produktifitas.
"Sehingga cara yang baik untuk meningkatkan produktivitas, satu adalah teknologi varietas-varietas unggul dan IPB sudah punya 107 varietas unggul tadi saya sampaikan, untuk lahan kering, lahan sawah kita sudah bisa," katanya.
Selain itu, Indonesia sudah menghasilkan produk-produk tepung lokal sebagai substitusi gandum yang impornya semakin lama semakin meningkat.
Arif menyebut pada 2010 impor gandum dari luar negeri sekitar empat juta ton sekarang sudah hampir 10 sampai 11 juta ton. Artinya peningkatan dalam 10 tahun ini eksponensial.
"Nah, artinya apa, orang sudah beralih kepada produk impor. Sekarang tantangannya bagaimana pemerintah Indonesia ini harus memproteksi produk-produk lokal, agar produk lokal ini menjadi pilihan untuk substitusi gandum," kata dia.
Arif pun menyampaikan produk lokal yang bisa seperti gandum banyak, ada sagu, ganyong, sukun, sorgum dan banyak lainnya yang butuh sentuhan perguruan tinggi melalui peningkatan produktivitas.
Namun demikian, tidak sampai di situ, kata Arif, memang mau tidak mau produksi pangan Indonesia harus menekan angka faktor kehilangan makanan (food lost) dan sampah makanan (food waste) yang tercatat cukup tinggi.
"'Food lost' kita ini 184 kilogram per tahun per kapita. Artinya apa? Pangan yang tercecer, pangan yang dibuang menjadi sampah, bahkan menurut FHO kita ini bahkan terbesar di dunia 300 kilogram per kapita per tahun setelah Arab Saudi dengan 400 kilogram per kapita per tahun. tetapi hitungan kita (untuk Indonesia) 184 ton per kapita per tahun," ungkapnya.
Tidak presisi
Menurutnya, penyebab masalah food lost dan food waste Indonesia tinggi ialah pertama adalah contoh untuk beras, panen yang tidak presisi, sehingga gabah yang tercecer itu mencapai 11 persen, kemudian masih masuk lagi di penggilingan padi, gabah yang rusak sekian persen sehingga perlu pembenahan.
BACA JUGA:
Selanjutnya yang kedua dari penggilingan padinya benar, berarti perlu ada revitalisasi penggilingan padi, maka itu akan bisa meningkatkan ketersediaan pangan secara nasional.
Dengan begitu, lanjutnya, kalau ada 11 persen tercecer kemudian menjadi hanya lima persen berarti minimal ada tambahan enam persen cadangan pangan beras Indonesia yang luar biasa.
Kemudian yang ketiga adalah perlu segera ada pendampingan petani, karena varietas baru membutuhkan teknik baru, teknologi baru membutuhkan teknologi budidaya baru dan perubahan iklim membutuhkan cara adaptasi baru.
"Jadi, saya masih optimis (masalah), pertanian kita masih bisa kita atasi dengan cara tadi (mengatasi food lost dan food waste," katanya.