Pakar Ungkap Ada Tantangan Keamanan Siber Di Balik Penerapan Hybrid Working

JAKARTA - Paska pandemi berbagai kultur baru dalam perusahaan muncul, salah satunya adalah tren Hybrid Working di mana perusahaan menggabungkan aktivitas kerja di dalam dan di luar kantor secara bergantian. Tetapi tentu ada tantangan keamanan sibernya.

Hasil riset yang diterbitkan oleh Microsoft bertajuk World Trend Index 2022 juga menunjukan 54 persen pemimpin perusahaan besar mulai mempertimbangkan untuk mengembangkan kultur kerja hibrid di lingkungan mereka pada 2023.

Meski demikian, ada tantangan yang perlu dihadapi oleh perusahaan di balik maraknya sistem kerja hibrid ini. Salah satunya perlu memperhatikan sistem keamanan siber dari masing-masing perusahaan.

Bagi perusahaan, sistem hibrid memiliki beberapa keunggulan mulai dari efisiensi dalam agenda meeting kantor karena mereka bisa berpartisipasi kapan pun dan di manapun secara daring.

Namun dengan berbagai keistimewaan yang ditawarkan oleh sistem hibrid, hal ini membuat para karyawan semakin bergantung pada pemanfaatan teknologi digital seperti koneksi internet, penggunaan gawai, dan perangkat lunak yang belum tentu memiliki sistem keamanan jelas dan terpantau keamanannya oleh perusahaan.

Penerapan sistem hibrid ini akan memunculkan banyak ancaman-ancaman siber yang dapat menempatkan karyawan dan perusahaan dalam posisi yang rentan akan serangan siber. Karenanya perusahaan perlu memperhitungkan resiko keamanan siber yang dihadapi.

"Tantangan utama perusahaan dalam remote working atau bekerja jarak jauh adalah pemahaman karyawan mengenai resiko siber dan bagaimana meminimalkan resiko tersebut," ungkap Pakar keamanan siber dan Presiden Direktur ITSEC Asia, Andri Hutama Putra dalam keterangan yang dikutip VOI.ID Kamis, 29 Desember.

Andri menjelaskan bahwa ada beberapa tantangan bagi perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem kerja hybrid terkait keamanan sistem informasi.

Menurut Andri, jika seorang karyawan mengakses web illegal menggunakan akun yang terintegrasi dengan data-data perusahaan, bisa saja karyawan tersebut terkena perangkap phishing, spoofing dan juga serangan ransomware.

"Atau bisa juga terjadi serangan melalui penggunaan jaringan koneksi publik yang tidak aman. Jika hal tersebut terjadi, data-data penting perusahaan bisa saja bocor ke pihak yang tidak bertanggung jawab," ujar Andri.

"Maka di sisi lain, perusahaan perlu mengadopsi infrastruktur keamanan siber yang tangguh, untuk mendukung penerapan hybrid working agar tetap aman,” imbuhnya.

Untuk itu, Andri mengungkapkan ada beberapa cara mengatasi tantangan tersebut, seperti tingkatkan kesadaran karyawan terhadap keamanan siber, menerapkan postur keamanan informasi yang tepat, melakukan penerapan sistem keamanan yang proaktif, dan meninjau sistem keamanan digital perusahaan.