Asia Terbelah Dua Melihat Ganja
JAKARTA - Thailand menyambut baik hasil pemungutan suara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengeluarkan ganja dari daftar zat berbahaya. Momentum ini disambut Thailand dengan sejumlah kebijakan yang mendorong pemanfaatan ganja medis. Namun, negara-negara Asia lain mengambil sikap berbeda, termasuk Indonesia yang masih bersikukuh menolak manfaat ganja.
Menteri Pariwisata dan Olahraga Thailand Phiphat Ratchakitprakarn telah meluncurkan sebuah program tur medis mariyuana. Program itu akan digelar di delapan provinsi dan dimulai tahun depan. Thailand sangat tertarik mendidik penduduk setempat tentang manfaat ganja sebagai obat dan zat terapeutik.
Bertolak belakang, Singapura justru menyatakan penolakan mereka. Menteri Hukum dan Dalam Negeri K. Shanmugam berkoar-koar di media sosial dalam beberapa pekan terakhir. Ia berkali-kali mengatakan Singapura tak menoleransi ganja. Ia bahkan mengajak komunitas internasional untuk bertindak "berdasarkan rasionalitas dan sains."
Isu legalisasi ganja dunia kembali jadi sorotan sejak awal bulan ini, setelah Komisi Narkotika PBB menghapus ganja dari Jadwal IV Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika. Pada 2 Desember, 27 negara mendukung langkah maju ini. Beberapa di antaranya adalah Amerika Serikat (AS), India, Nepal, hingga Thailand. Sementara, 25 negara lain menentang, termasuk Rusia, China, dan Jepang. Satu negara abstain.
Para ahli menyambut baik langkah Komisi Narkotika PBB. Mereka yang telah melakoni berbagai penelitian soal manfaat ganja memandang hasil pemungutan suara dapat mendorong penelitian medis dan upaya legalisasi ganja yang lebih luas di seluruh dunia.
Tekanan bagi India
Laporan SCMP mengindikasikan tekanan diplomatik yang dialami India di bawah AS. Keputusan India memberi suara senada AS memunculkan pertanyaan. Dalam waktu-waktu sebelumnya India dikenal sebagai negara yang cukup keras menentang segala bentuk narkotika.
Yang terjadi baru-baru ini, Biro Pengendalian Narkotika India menangkap tokoh televisi, Bharti Singh dan aktris, Deepika Padukone untuk tuduhan kepemilikan narkotika. Politikus India, Shashi Tharoor berkomentar soal itu.
Ia yang sejak lama berjuang mendekriminalisasi ganja di negara itu menyampaikan pertanyaan terhadap ikonsistensi India. "Saya diserang karena rekomendasi kebijakan untuk melegalkannya dua tahun lalu," tulisnya.
“Sekarang, bahkan saat (Biro Pengendalian Narkotika) menangkap bintang Bollywood karena kepemilikan ganja, India telah bergabung dengan mayoritas di Komisi Narkoba Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapusnya sebagai obat berbahaya. Ah baiklah!"
Perbaikan dan perluasan kualitas riset
Apapun proses politis yang terjadi, momentum ini setidaknya dapat memperluas dan memperbaiki kualitas riset ganja di dunia. Gloria Lai dari Konsorsium Kebijakan Narkoba Internasional, sebuah jaringan institusi yang bermarkas di London dan Bangkok mengatakan pengklasifikasian ulang ganja sebagai langkah maju, "terutama untuk mengakui nilainya untuk penggunaan medis."
Institusi Gloria sejak lama mempromosikan debat terbuka tentang kebijakan ganja sebagai obat. Kata dia, penggunaan ganja sebagai obat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan secara industri permintaan untuk produk-produk yang mengandung turunan ganja --termasuk cannabidiol-- terus meningkat.
Khalid Tinasti, Direktur Komisi Global untuk Kebijakan Narkoba mengatakan sebelum pemungutan suara, para peneliti dan dokter harus "melalui rintangan administrasi dan keuangan yang sangat besar untuk mendapatkan akses ganja dan menelitinya karena dianggap (tidak) memiliki nilai terapeutik."
Baca juga:
“Saya ingin memastikan bahwa penghapusan ganja dari Jadwal IV akan memungkinkan penelitian ganja yang lebih banyak dan lebih baik dan bahan-bahannya,” tambah Tinasti, yang juga rekan tamu di Institut Studi Global di Universitas Jenewa.
Tinasti juga menyoroti komersialisasi ganja yang berlebihan. Hal itu menyebabkan persoalan lain di tengah pasar ganja. Penggunaan ganja rekreasi disebut-sebut menyulitkan pengendalian pasar ganja. Hal itu juga yang ia katakan jadi sebab kenapa pemungutan suara 2 Desember berfokus pada tujuan medisnya. "Ini tentang penggunaan bahan-bahan tertentu dalam peraturan sistem kesehatan, di bawah pengawasan otoritas kesehatan, dan dalam hubungan antara dokter dan pasien."
Dengan cara ini, kata Tinasti, otoritas global akan memiliki satu visi terkait legalisasi ganja, bahwa legalisasi ganja harus berorientasi pada perkembangan riset, ilmu pengetahuan, dan kepentingan medis. Tinasti tak memungkiri sejumlah perusahaan swasta yang melobi keras untuk mendapatkan lebih banyak akses ke pasar potensial di masa depan.