JAKARTA - Pemerintah Thailand menyetujui amandemen terbaru terkait regulasi narkotika pada Selasa, 4 Agustus. Dalam amandemen tersebut, terdapat butir yang memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta dalam hal membudidaya tanaman ganja, baik untuk produksi obat-obatan maupun kepentingan medis lainnya.
Tak hanya itu. Dalam Amandemen tertuang pula butiran lain yang memberi kelonggaranpada pasien pengobatan dengan ganja medis, yang ketika amandemen mulai disahkan, mereka akan diperbolehkan memproduksi, mengekspor, ataupun menjual daun ganja untuk kepentingan medis.
"Undang-undang itu akan mempromosikan industri farmasi dan meningkatkan daya saing, yang akan penting bagi Thailand untuk menjadi pemimpin dalam ganja medis," Menteri Kesehatan Masyarakat Anutin Charnvirakul dikutip Reuters, Rabu, 5 Agustus.
Kendati demikian, Thailand telah mengeluarkan ganja dari daftar narkotika. Hal itu dilakukan seiring empunya kebijikan melegalkan penggunaan tanaman lima jari pada 2017 untuk penggunaan medis maupun penelitian.
Masalahnya, hanya pemerintah saja yang diizinkan menanam tanaman ganja. Kepemilikan ilegal atas ganja masih dapat dikenai hukuman hingga 15 tahun tahun penjara dan denda hingga 1,5 juta baht atau setara Rp698 juta.
Oleh sebab itu, hadirnya amandemen baru --yang kini masih menunggu tinjauan hukum sebelum diulas ke parlemen Thailand-- menjadi harapan baru bagi pemanfaatan ganja di Asia Tenggara. Apalagi, status Thailand saat ini menjadi negara pertama dan pelopor di Asia Tenggara yang berani melegalkan ganja untuk kebutuhan medis.
Kiranya, keberanian Thailand dalam melegalkan ganja tampaknya begitu kontras dengan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sebab, kedua negara tersebut, kepemilikan ganja masih dianggal ilegal. Saking tabunya ganja, pedagang ganja di negara tersebut dapat dihukum mati.