Tewas Diterkam Harimau: Sebuah Kejadian Biasa Awal Masa VOC di Batavia

JAKARTA - Keberhasilan maskapai dagang Belanda, VOC membangun negeri koloni tiada dua. Kota Batavia, namanya. Mereka membangun Batavia mengadopsi kenyamanan hunian di Belanda. Namun, kehidupan warga Batavia di fase awal penjajahan Belanda jauh dari kata nyaman dan aman.

Saban hari mereka dihantui rasa takut. Takut diterkam harimau, terutama. Amuk binatang buas itu sering kali memakan korban jiwa. Pun akhirnya fenomena warga Batavia diterkam harimau dianggap kejadian biasa, karena saking seringnya.

Alih-alih langsung besar dan megah, Batavia di fase awal penjajahan Belanda hanya menempati wilayah di dekat pesisir Sunda Kelapa. Sisanya, Ommelanden atau wilayah di luar benteng Batavia adalah hutan belantara.

Fakta itu membuat kehidupan warga Batavia –orang Belanda, Jepang, China, maupun budak—dilingkupi oleh ketakutan. Utamanya, ketakutan akan diterkam harimau. Ketakutan itu dianggap wajar karena harimau sering kali berkeliaran di Batavia. Bahkan, beberapa kali harimau tampak berada di jalanan Batavia.

Orang-orang Belanda berburu harimau ditemani para pekerja lokal. (Wikimedia Commons)

Ancaman harimau itu bukan mengada-ada. Banyak di antara warga Batavia acap kali menjadi korban dari amuk harimau yang wilayahnya diganggu. Pada 1659, misalnya. Terkaman harimau dianggap sebagai muara tewasnya 14 budak yang sedang menebang pohon di sekitar Batavia.

Berita itu membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap warga Batavia. Imbasnya, segenap warga Batavia tak berani melakukan aktivitas di luar kota. Mereka terpaksa menikmati kehidupan yang ada di dalam kota saja. Andai kata mereka berani keluar, satu-satunya resiko yang mereka hadapi adalah kematian.

“Untuk menunjukkan bagaimana hutan dalam waktu lama berdekatan dengan manusia, cukup diingatkan di sini bahwa binatang buas bertahan di Jawa sampai awal abad ke-20. Dan hingga kini pun orang barat masih tetap membayangkan bahwa Nusantara penuh satwa buas.”

“Pada abad ke-17, masih mungkin terjadi harimau berkeliaran di jalan-jalan Batavia, dan salah satu lukisan yang ditinggalkan oleh pendeta Valentijn menggambarkan dengan cermat Kapten Winkler sedang menembak binatang buas di lapangan Kasteel pada tahun 1694,” ungkap Sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan Jilid 1 (1996).

Perburuan Harimau

Warga Batavia yang menjadi korban keganasan harimau kerap bertambah. Apalagi seiring pembukaan lahan. Kompeni geram bukan main karena ancaman harimau sudah seperti kejadian biasa karena saking seringnya. Mereka pun bersiasat dengan menjadikan perburuan harimau sebagai solusi. Opsi perburuan adalah satu-satunya opsi yang paling masuk akal kala itu.

Barang siapa yang berhasil menangkap atau membunuh harimau akan diberikan hadiah berupa uang dari kas kompeni. Embel-embel hadiah itu membuat segenap penghuni Batavia kerajingan aktivitas berburu.

Mereka bahkan berburu sampai Lapangan Paviljoen (kini: Lapangan Banteng). Aktivitas berburu pun menjelma sebagai hiburan populer. Tua- muda ikut berpartisipasi dalam perburuan. Sebab, mereka bisa mendapatkan dua kebahagiaan sekaligus. Pertama, hiburan. Kedua, uang jika berhasil membawa buruannya.

Bangkai harimau yang mati dibunuh dalam aktivitas perburuan lantas diarak keliling kampung. (Wikimedia Commons)

Akan tetapi, berburu harimau bukan urusan yang mudah. Butuh keterampilan khusus untuk berhasil menjaring harimau. Apalagi Catatan Kasteel Batavia menuturkan bahwa perburuan besar-besaran tak selamanya mendapatkan hasil besar. Kadang pula perburuan hanya membawa pulang tangan hampa.

“Catatan harian Kasteel Batavia menuturkan bahwa pada 1640-an sekali sebulan pasti ada mayat harimau yang dipertontonkan di lapangan Kasteel. Karena ancaman harimau masih belum juga reda, Kepala Dewan Peradilan Joan Maetsuycker memutuskan pada 1644 untuk memimpin sendiri perburuan besar-besaran.”

“Untuk itu dikerahkan 800 orang terdiri dari 20 penunggang kuda, 100 serdadu, 50 budak dan selebihnya adalah warga Belanda dan penduduk asli, warga China, orang-orang Banda dan Jawa. Namun, sesudah menyisir kawasan selama dua hari, rombongan itu terheran-heran karena tidak menjumpai seekor pun harimau atau binatang buas lainnya sehingga mereka pulang ke dalam kota dengan masygul (kesal),” ungkap Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).