Pura Mangkunegaran, Tempat Resepsi Kaesang dan Erina di Surakarta: Buah Keberanian Pangeran Sambernyawa Melawan Penjajah Belanda
JAKARTA - Pura Mangkunegaran identik dengan Raden Mas Said, sosok yang ditakuti oleh Maskapai Dagang Belanda, VOC. Ia jadi satu-satunya kaum bumiputra yang tak bisa dikendalikan, apalagi dikalahkan Belanda. Penjajah menjulukinya sebagai Pangeran Sambernyawa. Alias Sang Penyebar Kematian.
VOC pun tak kuasa mengusiknya. Sebagai solusi, VOC memberikannya wilayah dan membangun kerajaan merdeka sesuai Perjanjian Salatiga. Mangkunegaran, namanya. Ia juga membangun pusat pemerintahan sendiri, Pura Mangkunegaran, yang pada Minggu 11 Desember 2022 akan menjadi tempat Presiden Jokowi menggelar resepsi ngunduh mantu pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono di Surakarta.
Tindak-tanduk Raden Mas Said tak jauh berbeda dengan ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara. Ayahnya yang notabene anak sulung dari penguasa Mataram, Amangkurat IV (1719-1726) kerap menentang kuasa VOC. Sikapnya yang keras kepala membuat VOC ambil sikap dan mengasingkan Arya Mangkunegara ke Sri Lanka hingga meninggal dunia.
Laku hidupnya ayahnya pun diikuti oleh Raden Mas Said. Ia memilih keluar dari Istana semenjak Mataram mulai akrab dengan VOC. Karismanya sebagai anak Arya Mangkunegara tak lantas hilang. Dari elite hingga jelata banyak yang jadi pengikutnya. Mereka pun dengan setia mendampingi Raden Mas Said melawan Belanda.
Ia pernah memimpin pasukan orang China melawan Belanda ketika Geger Pacinan pecah pada 1740. Ia pun tercatat pernah bergabung dengan Pangeran Mangkubumi (kemudian jadi Hamengkubuwono I) melawan Mataram yang kala itu bersekutu dengan VOC pada 1743-1752.
Keterlibatannya menghasilkan Perjanjian Giyanti. Perjanjian itu membuat Mataram pecah jadi dua: Surakarta dan Yogyakarta. Namun, Raden Mas Said merasa Perjanjian Giyanti membawa ketidakadilan kepadanya.
Perlawanan pun dilakukan. Kini, ia berhadapan dengan tiga musuh sekaligus. Paku Buwono III (Surakarta), Hamengkubuwono (Yogyakarta), dan VOC. perlawanannya tak kendor sedikit pun, malah sering bikin pusing lawan.
Nyali dan strateginya melawan Belanda luar biasa. Petinggi VOC pun menyebutnya sebagai penyebar kematian. Mereka pun menjulukinya dengan nama Pangeran Sambernyawa. VOC pun tak kuasa lagi melawannya.
Kompeni lalu meminta kedua kerajaan –Surakarta dan Yogyakarta—berunding dengan Pangeran Sambernyawa. Perundingan itu menghasil Perjanjian Salatiga. Sebuah perjanjian yang membuat Pangeran Sambernyawa memiliki daerah kekuasaan sendiri yang tak dapat diganggu gugat Belanda.
“Kesempatan ini digunakan oleh VOC untuk mengadakan perdamaian. Berdasarkan Perjanjian Giyanti pada 1755, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I mendapat wilayah sebelah barat dan di sana didirikan ibu kota Yogyakarta.”
“Paku Buwono III mendapat wilayah bagian timur dengan ibu kota Surakarta. Sedangkan Raden Mas Said, dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I, berdasarkan Perjanjian Salatiga (1757) memperoleh daerah yang disebut Mangkunegaran,” Moctar Lubis dalam kata pengantarnya di buku Takhta untuk Rakyat (2013).
Sejarah Pura Mangkunegaran
Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757) adalah fase perjuangan baru bagi Pangeran Sambernyawa. Perjanjian itu menandai berdirinya daerah kekuasaan Pangeran Sambernyawa, Mangkunegaran. Pangeran Sambernyawa pun mengubah namanya menjadi Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Ia memiliki wilayah yang sangat luas dan berhak memiliki tentara sendiri yang sifatnya independen. Alias tak memihak siapa pun selain Mangkunegara I. Demi melengkapi kuasanya, Mangkunegara I membangun sebuah istana pada 1757.
Pura Mangkunegaran, namanya. Istana itu jadi pusat pemerintahan Mangkunegaran sekaligus kediamannya lengkap dengan pendopo untuk berjumpa tamu, dan lain sebagainya. Di sanalah, Mangkunegara I memerintah wilayah kekuasaannya.
Wilayah itu meliputi Kedaung, Matesi, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu. Kehadiran Pura Mangkunegaran juga jadi saksi Mangkunegara I menelurkan karya seni budaya. Ia menciptakan motif batik, tarian, dan pemikiran kebudayaan lainnya.
“Puro Mangkunegaran dibangun sebagai tempat kediaman pangeran yang menyerupai keraton dalam ukuran yang lebih kecil. Bentuk arsitektur bangunan ini memiliki ciri yang sama dengan sebuah keraton, lengkap dengan adanya pamedan, pendopo, pringgitan, dalem, dan kaputran, dikelilingi oleh dinding tembok yang kokoh.”
“Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan seperti juga pada bangunan utama di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, selama masa kejayaan pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Terlihat perubahannya pada tampak bangunan dengan ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu. Pada saat pintu gerbang utama dibuka terlihat lapangan perlatihan prajurit pasukan Mangkunegaran yang disebut pamedan, di sebelah timur pamedan, tampak gedung kavaleri bekas pusat pasukan kuda,” ungkap Atridia Wilastrina dalam buku Ruang Rias: Menguak Budaya dan Estetika Keputren Puro Mangkunegaran Surakarta (2021).
Baca juga:
- Kekejaman Belanda di Pembantaian Rawagede dalam Sejarah Hari Ini, 9 Desember 1947
- Sejarah Hari Ini, 8 Desember 1985: Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Perpustakaan Nasional oleh Ibu Tien Soeharto
- Memori Kelam 13-14 Mei 2018: Rentetan Bom Bunuh Diri Dilakukan Dua Keluarga, Menyerang Gereja dan Markas Polisi di Surabaya
- Letusan Gunung Semeru 1909: Kaum Bumiputra hingga Belanda Galang Dana untuk Korban Bencana