Amerika Serikat Jatuhkan Sanksi Terhadap Tiga Pejabat Senior Korea Utara Usai Peluncuran ICBM
JAKARTA - Amerika Serikat pada Hari Kamis memberlakukan sanksi terhadap tiga pejabat senior Korea Utara yang terkait dengan program senjata negara itu, setelah uji coba rudal balistik antarbenua terbaru dan terbesar Pyongyang bulan lalu.
Departemen Keuangan AS menyebut individu-individu tersebut sebagai Jon Il-ho, Yu Jin,dan Kim Su-gil. Ketiganya juga dikenai sanksi oleh Uni Eropa pada Bulan April lalu.
Sanksi terbaru menyusul uji coba peluncuran ICBM 18 November oleh Korea Utara, bagian dari serentetan pemecahan rekor lebih dari 60 peluncuran rudal tahun ini, dan di tengah kekhawatiran Korea Utara mungkin akan melanjutkan uji coba bom nuklir yang ditangguhkan sejak 2017.
Sebuah pernyataan Departemen Keuangan mengatakan, Jon Il-ho dan Yu Jin memainkan peran utama dalam pengembangan senjata pemusnah massal (WMD), sambil masing-masing menjabat sebagai wakil direktur dan direktur, Departemen Industri Munisi Korea Utara.
Adapun Kim Su-gil menjabat sebagai direktur Biro Politik Umum Tentara Rakyat Korea dari 2018 hingga 2021 dan mengawasi implementasi keputusan terkait program WMD.
"Kementerian Keuangan mengambil tindakan dalam koordinasi trilateral yang erat dengan Republik Korea dan Jepang terhadap pejabat yang memiliki peran utama dalam program WMD dan rudal balistik DPRK yang melanggar hukum," kata Wakil Menteri Keuangan untuk Terorisme dan Intelijen Keuangan Brian Nelson dalam pernyataan itu, menggunakan inisial nama resmi Korea Utara, melansir Reuters 2 Desember.
"Peluncuran baru-baru ini menunjukkan perlunya semua negara untuk sepenuhnya menerapkan resolusi Dewan Keamanan PBB, yang dimaksudkan untuk mencegah DPRK memperoleh teknologi, bahan dan pendapatan yang dibutuhkan Pyongyang, untuk mengembangkan WMD dan kemampuan rudal balistiknya yang dilarang," papar pernyataan itu.
Sanksi membekukan aset individu yang berbasis di AS dan melarang berurusan dengan mereka, tetapi sebagian besar tampak simbolis.
Diketahui, Sanksi yang dipimpin AS selama beberapa dekade telah gagal menghentikan program rudal dan senjata nuklir Korea Utara yang semakin canggih.
Sementara, China serta Rusia telah memblokir upaya baru-baru ini untuk memberlakukan lebih banyak sanksi PBB, dengan mengatakan mereka seharusnya dilonggarkan untuk memulai pembicaraan dan menghindari bahaya kemanusiaan.
"Menargetkan pejabat senior di dalam Korea Utara yang bertanggung jawab atas WMD dan kegiatan rudal dan bekerja sama dengan Korea Selatan dan Jepang adalah penting, tetapi itu adalah tanggapan yang tidak memadai dan simbolis terhadap 60+ uji coba rudal, termasuk 8 uji ICBM," kata Anthony Ruggiero, yang memimpin upaya sanksi Korea Utara di bawah mantan Presiden Donald Trump.
"Pemerintahan Biden harus memberi sanksi pendapatan Pyongyang dan memaksa Kim Jong-un membuat keputusan sulit tentang prioritas strategisnya," jelasnya.
Sebelumnya, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan Washington berkomitmen untuk menggunakan tekanan dan diplomasi, untuk membujuk Korea Utara agar menyerahkan persenjataan nuklirnya.
Baca juga:
- Uni Eropa Ingin Bentuk Pengadilan Kejahatan Perang Terkait Ukraina, Kremlin: Tidak Miliki Legitimasi
- Terima Presiden Dewan Eropa, Xi Jinping Berharap Lingkungan Bisnis yang Adil dan Transparan Bagi Perusahaan China
- Sebut 2.000 Pejuang Tewas Melawan Junta Militer, Pemimpin Demokrasi Myanmar Harapkan Bantuan Militer
- Kantor Perdana Menteri hingga Kementerian Pertahanan Juga Dikirimi Benda Diduga Bom Surat: Spanyol Perketat Keamanan
Dia mengatakan pemerintah tidak memiliki ilusi tentang tantangan tersebut, tetapi tetap berkomitmen untuk meminta pertanggungjawaban Pyongyang.
Terpisah, seorang juru bicara di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih mengatakan sanksi telah berhasil memperlambat pengembangan program senjata dan Pyongyang telah beralih ke cara yang semakin putus asa untuk menghasilkan pendapatan seperti pencurian mata uang virtual dan kejahatan dunia maya lainnya untuk mendanai program senjatanya. "
"Keputusan DPRK untuk terus mengabaikan penjangkauan kami bukan untuk kepentingan terbaik mereka, atau untuk kepentingan rakyat DPRK."