Kasus Gempa Cianjur: Jika Relokasi Penduduk Sulit Dilakukan, Bangunan Tahan Gempa Jadi Solusi
JAKARTA - Gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur pada 21 November 2022 sekitar pukul 13.21 WIB. Bangunan rumah, sekolah, tempat ibadah, mengalami kerusakan. Sejumlah ruas jalan terputus akibat pergeseran tanah atau tertimbun longsor.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) per 22 November 2022, menyebut 22.198 rumah rusak, 12.641 di antaranya mengalami kerusakan berat hingga mengakibatkan 58.362 orang terpaksa mengungsi.
Sedangkan korban tercatat 1.351 orang, 268 meninggal dunia dan 1083 mengalami luka-luka. BPBD juga meyakini ada 151 orang masih dalam pencarian.
“Kondisi terparah berada di Kecamatan Cianjur, Kecamatan Cugenang, dan Kecamatan Pacet. Sementara, kawasan yang berada di sisi selatan relatif aman,” kata Bupati Cianjur Herman Suherman kepada wartawan pada 21 November.
Meski berskala moderat, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan pusat gempat terjadi di darat dengan kedalaman 10 km arah barat daya Kabupaten Cianjur. Lebih spesifik di kordinat 6.84 lintang selatan 107.05 bujur timur.
“Sehingga, getarannya sangat terasa bahkan hingga ke Jabodetabek,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.
Dwikorita mengingatkan warga tetap waspada. Jangan memaksakan kembali ke rumah yang mengalami rusak atau retak-retak. Sebab, hingga Selasa (22/11) pukul 17.00 WIB saja sudah terjadi 145 kali gempa lindu susulan dengan getaran 1,5-4,2 magnitudo. Kemungkinan masih terus terjadi dalam empat hari ke depan.
Warga yang bermukim di lereng perbukitan, lembah, atau bantaran sungai juga harus mewaspadai terjadinya tanah longsor dan banjir bandang pascagempa.
“Kemungkinan lereng-lereng perbukitan di Cianjur menjadi rapuh usai terjadinya gempa. Lereng-lereng yang rapuh ini ditambah hujan deras dapat memicu terjadinya longsor dan banjir bandang dengan membawa material runtuhan lereng. Jadi masyarakat dan pemerintah setempat juga perlu mewaspadai adanya bahaya ikutan usai gempa kemarin," jelas Dwikorita dalam keterangannya secara virtual, Selasa (22/11).
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menginstruksikan agar korban gempa Cianjur mendapatkan perawatan maksimal.
“Jangan sampa ada warga luka-luka yang terlantar di pinggir jalan. Diupayakan bisa dapat perawatan di rumah sakit. Ini perlu diatur,” kata Ridwan Kamil dalam keterangan tertulis, Selasa (22/11).
“Jika memang karena keterbatasan rumah-rumah sakit di Cianjur tak memungkinkan karena jumlah luka-luka terlalu banyak, saya sudah berkoordinasi dengan rumah sakit di Sukabumi, Bandung, dan Cimahi untuk bisa menangani,” kata Ridwan Kamil.
Selain itu, Ridwan Kamil mengaku sudah menginstruksikan membangun rumah sakit darurat di area Pendopo Kabupaten Cianjur. “Kami juga sudah berkoordinasi dengan sejumlah instansi untuk pengadaan dapur umum dan tenda-tenda pengungsian.”
Patahan Cimandiri
BMKG sudah memastikan gempa Cianjur terjadi kemungkinan besar akibat pergerakan di Patahan Cimandiri. Sebab, patahan ini tergolong sangat aktif dan pergerakannya sudah beberapa kali mengakibatkan gempa.
Antara lain, menurut jurnal Muhammad Adis SW mahasiswa Universitas Gadjah Mada, gempa bumi Pelabuhan Ratu (1900), gempa bumi Cibadak (1973), gempa bumi Gandasoli (1982), gempa bumi Padalarang (1910), gempa bumi Tanjungsari (1972), gempa bumi Conggeang (1948), dan gempa bumi Sukabumi (2001).
Patahan Cimandiri terletak di bagian barat provinsi Jawa Barat. Memanjang mulai dari muara Sungai Cimandiri di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi lalu mengarah ke timur laut melewati Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Subang.
Patahan mengalami pertemuan dengan Patahan Lembang di wilayah Padalarang dan pertemuan dengan Patahan Baribis di Subang. Sebagai patahan aktif, Patahan Cimandiri bergerak dengan kecepatan geser 4-6 mm per tahun.
“Cimandiri sebenarnya patahan paling aktif di antara patahan-patahan lain yang ada. Kita di Bandung sering merasakan gempa, selalu lokasinya akibat aktivitas releasing energi di Patahan Cimandiri,” kata Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dr. Ir. Harkunti P. Rahayu kepada VOI, Selasa (22/11).
“Saya juga shock ternyata dampaknya cukup masif. Padahal, skalanya moderat, masih terbilang sedang meski pusat gempa terjadi di daratan,” tambah Harkunti.
Paling tidak, itu bisa menjadi kajian guna mengantisipasi kejadian serupa. Bagaimana pun, Indonesia secara geografis berada di wilayah Lingkaran Api Pasifik. Tempat pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Lempeng-lempeng itu, menurut Harkunti terus bergerak, bahkan tak jarang memunculkan patahan-patahan baru. Belum lagi, keberadaan sejumlah gunung berapi aktif. Inilah mengapa Indonesia sering dikatakan sebagai wilayah rawan gempa.
Dengan kondisi tersebut, mau tak mau, masyarakat Indonesia harus berdamai dengan gempa. Hal yang harus dipahami bersama adalah terkait tata ruang. Tidak boleh mendirikan bangunan di sepanjang garis patahan. Beberapa kilometer di sisi kanan dan kiri garis harus kosong.
“Namun, yang jadi masalah, gempa sulit diprediksi dan tidak melulu terjadi di garis patahan. Jadi, koridor itu memang agak susah diterapkan,” kata Harkunti.
Satu cara yang pasti adalah dengan mewajibkan aturan rancangan keamanan bangunan tahan gempa, khususnya bangunan yang berada di garis atau sekitar garis patahan. Sehingga, bila terjadi gempa, jumlah korban bisa diminimalisasi.
“Korban luka atau meninggal dunia umumnya karena tertimpa bangunan. Gempa tidak membunuh orang. Bila kondisi bangunannya kokoh, saya rasa potensi korban juga bisa ditekan. Ini sangat penting,” imbuhnya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono pun mengemukakan wilayah Sukabumi, Cianjur, Lembang, Purwakarta, Bandung secara tektonik merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks yang menjadikan kawasan itu masuk dalam daerah rawan terjadi gempa.
"Disebut seismik aktif, karena hasil monitor BMKG di daerah itu sering terjadi gempa dengan berbagai variasi dan kedalaman,” ujarnya.
Terkait kompleksitas, lanjut dia, daerah itu merupakan daerah jalur gempa aktif seperti keberadaan sesar atau patahan Cimandiri, Padalarang, Lembang, Cirata, dan masih banyak lagi sesar-sesar minor yang berada di wilayah tersebut.
"Sehingga, kawasan tersebut menjadi kawasan gempa secara permanen," tuturnya.
BMKG mencatat, sudah 14 kali terjadi gempa di kawasan Cianjur-Sukabumi dengan potensi kerusakan besar. Antara lain pada tahun 1879, 1900, 1910, 1912, 1969, 1973, 1982, dan 2001. Lalu, tahun 2011, 2012, dan tahun 2020.
Baca juga:
- Seperti Sepak Bola, Pemilu juga Soal Menang dan Kalah: Butuh Kedewasaan Menyikapi Keduanya
- Rencana Alih Fungsi Lahan SDN Pondok Cina 1 Menjadi Masjid di Margonda, Depok Sebaiknya Ditinjau Ulang
- Terus Menuai Polemik, Hasil Monitoring Netray Banyak yang Mempertanyakan Keberadaan Mobil Esemka
- Cerita Soal PHK dan Cita-Cita Elon Musk Setelah Twitter Dia Akuisisi