JAKARTA - Ketika Brasil dipermalukan Jerman dengan skor telak 1-7 di depan publik sendiri dalam Piala Dunia 2014, Presiden Brasil kala itu Dilma Rousseff segera buka suara untuk menenangkan rakyatnya. Meski bersedih dan kecewa, Rousseff tetap memastikan hasil itu tidak akan mempengaruhi mood Brasil sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014.
“Sepak bola terdiri dari kemenangan dan kekalahan. Itu selalu jadi bagian dari pertandingan. Bisa melewati sebuah kekalahan saya pikir itu penanda akan masa depan kami dan menunjukkan kami sebagai tim dan negara besar," kata Rousseff.
"Sebagai suporter tentu saja saya meminta maaf. Saya meminta maaf karena saya merasakan kesedihan yang sama dengan seluruh warga Brasil," lanjut Rousseff dalam wawancaranya dengan CNN.
Pelatih Brasil kata itu, Luiz Felipe Scolari dengan jiwa besar mengakui ketidakmampuannya membawa Brasil juara Piala Dunia untuk kali keenam di kandang sendiri. Alih-alih menjadi juara, setelah kalah 1-7 dari Jerman, Brasil juga kembali mengalami kekalahan 0-3 dari Belanda dalam perebutan tempat ketiga.
Scolari tak mau menumpukan kesalahan tersebut kepada pemainnya. Menurut dia, itu murni kesalahannya. Selama 25 tahun menjalani profesi sebagai pelatih, belum pernah dia melihat Brasil yang selalu memiliki banyak talenta hebat dalam sepakbola tertinggal 5 gol hanya dalam waktu 20 menit dari Jerman.
“Buanglah saya…, buang saja saya…,” kata Scolari dalam cuitannya.
Tak hanya presiden dan pelatih, para pemain Brasil juga menyampaikan permohonan maafnya. Sehingga, suasana dapat tetap kondusif. Piala Dunia 2014 di Negeri Samba terus berlangsung normal, damai, dan penuh suka cita. Tanpa ada boikot, tanpa ada kerusuhan.
Menjunjung fair play ternyata lebih penting ketimbang kemenangan itu sendiri. Kemenangan harus disikapi dengan bijak, begitupun dengan kekalahan. Realitasnya, menurut Pakar Komunikasi dari Uhamka, Said Romadlan, itu tidak terjadi di negeri ini.
Tengok perseteruan suporter sepak bola yang kerap terjadi. Sudah berapa banyak korban luka atau meninggal dunia dari perseteruan Persib dan Persija atau perseteruan klub-klub sepakbola lainnya?
Dunia Politik
Begitupun dalam dunia politik. Tengok pula bagaimana para pendukung partai memaknai kemenangan dan kekalahan pada Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019? Polarisasi dua kubu pendukung capres ketika itu telah melahirkan sejumlah istilah yang saling medegradasi satu sama lain.
“Ini menandakan tingkat kedewasaan kita dalam menerima kekalahan masih sangat minim. Cenderung fanatisme buta dan cenderung budaya dendam yang selalu dipelihara. Bukti nyata bisa terlihat, sebutan Cebong dan Kadrun seolah terpelihara hingga saat ini,” kata Said kepada VOI, Senin (21/11).
Bahkan, kata M Subhan, mereka tak risih mempertontonkan sikap reaktif, emosional, atau sumbu pendek. Alhasil, ruang demokrasi minim perdebatan konstruktif. Kritik bukan pada isu substansial, melainkan menyasar gosip personal.
“Kalau politik seteru di level elite tampak instrumentalis, permusuhan partisan di akar rumput cenderung ideologis,” kata Subhan dalam tulisannya ‘Berhentilah Membenci’ di Kompas.
Cebong adalah sebutan untuk para pendukung Jokowi, sedangkan Kadrun atau kadal gurun adalah sebutan untuk mereka yang tidak mendukung Jokowi. Sebutan gurun mengarah ke daerah Timur Tengah seperti Arab. Sehingga, banyak pula yang mengartikan Kadrun adalah sebutan untuk keturunan arab dan pengikutnya yang selalu menentang Jokowi.
Seperti dalam topik mobil Esemka di Twitter belum lama ini. Perbincangan justru menjadi perdebatan antara Kadrun dan Cebong. Padahal, akun @BangEdiii hanya ingin membuktikan bahwa mobil Esemka benar-benar ada. Justru, pegiat media sosial dengan mudahnya melegitimasi @BangEdiii dan orang-orang yang mempertanyakan hal sama dengan sebutan Kadrun.
Sementara, ketika Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama Presiden Persatuan Emirat Arab (PEA) Mohamed Bin Zayed Al Nahyan (MBZ) meresmikan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo pada 14 November lalu, tidak ada yang melegitimasi topik ini dengan sebutan Kadrun.
“Tentu persoalan rumit, laten. Kita susah keluar dari situasi seperti ini. Dua hingga tiga kali Pemilu lagi juga belum tentu,” ucap Said.
Butuh Teladan Berpolitik
Aspek strutural maupun kultural sudah mengalami pergeseran dari landasan negara Pancasila dan UUD 1945. Dari aspek struktural, sistem politik saat ini yang cenderung menomorsatukan uang sebagai syarat mengikuti kontestasi politik mengakibatkan sulit mencari figur-figur yang berintegritas.
“Sulit mencari teladan berpolitik yang baik. Masyarakat butuh contoh yang nyata dalam etika berpolitik. Contoh yang bisa memberikan pemahaman bahwa hakikat politik adalah mensejahterakan masyarakat, bukan golongan atau dirinya sendiri,” Said menuturkan.
Begitupun dalam aspek kultural. Merombak kultur dalam masyarakat butuh proses panjang. Kultur balas dendam yang selalu digambarkan dalam cerita-cerita sejarah kerajaan di Nusantara masih terbawa hingga ke era modern. Mengubah ini tak lain harus melalui sistem pendidikan.
“Sayangnya, sistem pendidikan saat ini juga tidak jelas mau ke arah mana. Karakter enggak, science juga enggak, serba tanggung semua. Akhirnya, muncul kampus merdeka, merdeka belajar sekarepmu dewe,” tambah Said.
“Jadi, sudah saatnya kita memahami perjuangan dan cita-cita para pendiri bangsa. Mau dibawa ke mana bangsa ini? Membangun politik yang sehat adalah mengembalikan kepercayaan publik melalui keteladanan para pemimpin dan wakil rakyat,” imbuh Said.
Seperti yang dilakukan Rousseff dan Scolari dalam sepak bola, dalam konteks politik Presiden Jokowi juga sudah berulangkali mengingatkan agar para elite politik bisa memberi contoh teladan kepada masyarakat.
“Jangan saling menjatuhkan. Kalau bisa itu antarpartai saling memuji, jadi dengerin juga enak, antar-politisi saling memuji, antarpartai saling muji yang dengar rakyat juga senang,” kata Jokowi saat berpidato dalam acara HUT salah satu partai pada 14 November lalu.
"Menang atau kalah adalah hal biasa. Namun, saling menghargai dalam berkontestasi adalah yang terpenting untuk dijaga. Yang terpenting antar-kandidat harus menghormati, menghargai karena apapun kita ini bersaudara," kata Jokowi dalam kesempatan berbeda.
Dalam pidato tahunan MPR tahun ini, Jokowi juga berpesan, "Jangan lagi ada politisasi agama. Jangan lagi ada polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa."