KTT G20 Bali: Semoga Joe Biden dan Xi Jinping Bisa Menjadi Juru Selamat Dunia

JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China, Xi Jinping melakukan pertemuan tatap muka di sela KTT G20 Bali pada 15-16 November 2022. Mereka bertemu saat kondisi hubungan kedua negara kian tidak harmonis, baik dalam persaingan ekonomi maupun geopolitik.

Semakin memanas ketika Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi mengabaikan penolakan China dan tetap mengunjungi Taiwan pada Agustus lalu. Pemerintah China menganggap kunjungan itu sebagai upaya provokatif dan mengganggu kedaulatan China terhadap Taiwan. China kemudian menanggapinya dengan peluncuran uji coba rudal balistik di atas Taipei untuk pertama kalinya.

Pertemuan Biden dan Jinping dilakukan Senin (14/11) di Hotel Mulia, Nusa Dua, Bali. Gedung Putih sebelumnya menegaskan pertemuan Biden dan Jinping di Bali adalah upaya mempertahankan dan memperdalam jalur komunikasi antara Amerika Serikat dan China. Juga, untuk mengelola persaingan secara bertanggung jawab, dan bekerja sama dalam hal mengatasi tantangan global.

Keduanya akan mencari titik temu untuk menyelesaikan berbagai konflik, termasuk konflik kepentingan di Taiwan.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden (tengah) tiba di terminal VVIP I Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali pada 13 November 2022. Kedatangan Presiden Amerika Serikat tersebut untuk mengikuti KTT G20 yang akan berlangsung pada 15-16 November 2022. (Antara/Media Center G20 Indonesia/Galih Pradipta/hp).

“Kami sedang dalam persaingan. Presiden Biden menerimanya tetapi dia ingin memastikan bahwa persaingan dibatasi, bahwa kami membangun pagar pembatas, bahwa kami memiliki aturan jalan yang jelas dan bahwa kami melakukan semua itu untuk memastikan bahwa persaingan tidak mengarah ke konflik,” kata pejabat DPR, seorang senior kulit putih seperti ditulis Justin McCurry di The Guardian.

Pendekatan Biden tersebut telah mendapat dukungan dari sekutu dan mitra di kawasan, termasuk sekutu utama Jepang dan Korea Selatan yang juga hadir di KTT G20 Bali. Sebab, tujuan utama KTT adalah mengurangi kesalahpahaman dan kesalahan persepsi guna menentukan langkah-langkah yang tepat.

Pertemuan Biden dan Jinping merupakan hasil diskusi panjang antara pejabat AS dan China selama beberapa bulan terakhir. Biden telah mengadakan lima panggilan telepon dan video dengan Jinping sejak awal 2021, tetapi pembicaraan pada 14 November adalah yang pertama sejak 2017, ketika Biden menjadi wakil presiden Barack Obama. Presiden AS yang terakhir bertatap muka dengan Xi Jinping adalah Donald Trump, pada 2019.

“Saya tahu Xi Jinping, dia mengenal saya,” kata Biden.

Upaya Baik

Mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menilai pertemuan Biden dan Jinping bisa menjadi ‘game changer’ di tengah suasana dunia yang semakin panas saat ini. Baik karena konfrontasi geopolitik yang meningkat tajam, khususnya di kawasan Asia Timur, maupun makin panasnya bumi karena perubahan iklim.

Memang banyak yang skeptis dan pesimistis pertemuan Biden dan Jinping akan menghasilkan sesuatu yang meaningful. Terlebih, bila melihat rivalitas kedua negara yang sudah meluas dan sudah mengarah ke hal-hal fundamental, seperti urusan Taiwan.

“Lihat, betapa berbahaya kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara ketika kedua kekuatan militer terbesar di dunia tersebut saling berhadapan secara fisik. Jika ada miskalkulasi atau kejadian di lapangan yang tak terduga, misalnya satuan AS atau Tiongkok yang tiba-tiba menembak pesawat atau kapal perang "lawannya, perang besar bisa terjadi,” kata SBY, sapaan akrab Susilo Bambang Yudhoyono melalui keterangan resminya di media sosial, Senin (14/11).

Dokumentasi pertemuan virtual antara Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Presiden China, Xi Jinping. (EFE-EPA/Sarah Silbiger/Pool)

Namun, banyak pula yang berpendapat sebaliknya. Apapun hasil pertemuan Biden dan Jinping di Bali, akan tetap memberikan manfaat bagi dunia. Kesediaan bertemu secara langsung dan berdialog adalah bahasa politik yang positif. Bertemu tetap lebih baik dari pada tidak bertemu.

“Pengalaman di seluruh dunia mengajarkan bahwa resolusi konflik bisa didapatkan ketika jalan perundingan dan negosiasi akhirnya yang dipilih. Pertemuan kedua pemimpin puncak yang tengah bermusuhan kerap menjadi pintu masuk, atau paling tidak sebuah awal yang baik,” tuturnya.

Dengan saling berbicara secara terbuka dan saling mendengar, kedua pihak akan mengerti sikap dan tindakan apa yang dianggap tabu bagi yang lain. Inilah yang disebut red line dalam dunia politik dan hubungan internasional.

“Misalnya, bagi Tiongkok (China) mungkin campur tangan AS yang terlalu jauh terhadap urusan Tiongkok-Taiwan adalah sebuah red line. Mungkin juga sebaliknya bagi AS, penggunaan instrumen militer Tiongkok dan menyelesaikan sengketa dengan Taiwan dan juga dengan sejumlah negara di kawasan dalam sengketa teritori Laut Tiongkok Selatan juga dianggap red line,” tulis SBY.

Perlu Kebersamaan Amerika dan China

Dunia memerlukan kebersamaan Amerika Serikat dan China untuk mengatasi berbagai isu kritis dan fundamental di tingkat global, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Termasuk dalam mengatasi ancaman perubahan iklim dan pemanasan global.

Kedua negara tersebut, kata SBY, adalah penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yang menyebabkan bumi makin panas. Baik secara moral maupun aksi nyata keduanya mesti berdiri di garis depan dalam upaya pencegahan, apalagi, Amerika dan China memiliki sumber daya keuangan yang besar.

“Bersama-sama, keduanya harus bisa bertindak sebagai juru selamat bumi kita, tentu dengan kontribusi seluruh negara di dunia. Tanpa Tiongkok dan AS, seluruh upaya untuk memerangi perubahan iklim tidak akan berhasil,” ucap SBY.

“Saya masih percaya bahwa geopolitik yang sangat konfrontatif, bahkan sebuah peperangan, masih bisa dicarikan solusinya. Sebuah krisis ekonomi, yang kerap terjadi di dunia, juga ada jalan untuk menstabilkan dan memulihkan kembali. Tetapi, jika kenaikan suhu global menembus angka 4 derajat dari suhu era pra-industri, maka di akhir abad 21 ini kiamatlah dunia kita,” SBY menambahkan.

Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pandangannya terkait pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping. (Instagram/@sby.yudhoyono)

Kebersamaan Amerika dan China juga dibutuhkan untuk meredakan situasi geopolitik dan keamanan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka harus memiliki niat baik untuk membuat perjanjian yang saling menguntungkan.

Bahkan, hubungan baik kedua negara adi kuasa ini juga bisa mencegah makin memanasnya situasi di Semenanjung Korea dan Jepang. Juga, bisa membuka jalan baru, pendekatan baru mengakhiri peperangan di Ukraina yang telah berdampak memberikan tekanan besar bagi perekonomian dunia.

“Sejarah mengajarkan bahwa pragmatisme yang positif diutamakan, dan pendekatan yang terlalu ideologis dikesampingkan. Semua negara tentu ingin memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing, tetapi kewajiban internasional mereka tak bisa ditinggalkan,” kata SBY.

“Semoga pertemuan Presiden Biden dengan Presiden Xi Jinping di Bali, Indonesia membuat dunia bukan hanya bisa bernafas lega, tetapi lebih jauh, dunia kita menjadi lebih aman, lebih adil dan lebih sejahtera. A better world is always possible,” SBY menandaskan.

Dari 20 negara anggota G20, hanya tiga kepala negara yang tidak hadir dalam KTT G20 Bali, yakni Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, dan Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador. Ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan Acara G20, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan Putin berhalangan hadir karena masalah dalam negerinya yang harus diselesaikan. Putin diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Sergey Lavrov.

Jair Bolsonaro masih dalam masa transisi setelah pemilihan umum di negaranya beberapa waktu lalu. Sedangkan Obrador disebut tidak hadir karena memang tidak pernah keluar dari negaranya. Ia diwakili Menteri Luar Negeri Marcelo Ebrard.