Vaksin Booster Kelompok Rentan Perlu Digencarkan Pasca Subvarian Omicron XBB Melonjak
JAKARTA - Pandemi COVID-19 kembali meningkat beberapa hari ini. Walau jumlah penerima vaksin terus bertambah dan cakupannya meluas, kemunculan subvarian baru kembali mengancam. Dalam perkembangan terakhir, pemerintah mengumumkan beredarnya subvarian XBB dari Omicron di Indonesia pada Rabu (26/10). Lalu, per Sabtu (5/11), setidaknya tercatat 12 kasus subvarian.
Berkaca pada kasus di Singapura, subvarian ini banyak menyerang kaum muda dengan rentang usia 20-39, menurut Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Tidak hanya itu, mereka yang belum pernah terpapar COVID-19 justru lebih berisiko terinfeksi XBB. Rekomendasi IDI tidak berubah: prosedur kesehatan berlaku ketat, dan vaksinasi dosis ketiga alias booster mesti dipercepat.
Dalam aras pertimbangan yang sama, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan menilai vaksinasi perlu digencarkan hingga booster, terutama bagi masyarakat adat dan kelompok rentan. Sebab, dua kelompok ini umumnya baru menerima vaksin dosis kedua. Selaras dengan rekomendasi IDI, Koalisi juga merekomendasikan agar masyarakat tetap menerapkan prosedur kesehatan ketat dan segera mendapat booster.
Dorongan itu ada dasarnya. Sejak akhir Oktober, angka kasus harian COVID-19 naik drastis. Dalam sepekan terakhir, tren kasus COVID-19 masih menunjukkan peningkatan. Pada 31 Oktober, angka penularan 2.457, lalu terkerek menjadi 4.707 sehari berselang. Kenaikan tidak berhenti hingga 4 November, dan mencapai level 5.303. Kelegaan hanya berlangsung dua hari setelah kasus turun hingga mencapai 3.662. Namun, pada 8 November, kasus pun menanjak jadi 6.601, dan 9 November 6.186.
Belum dapat dipastikan apakah subvarian XBB memberi sumbangsih pada lonjakan kasus. Pun begitu, kenaikan kasus belakangan ini tentu mencemaskan.
Booster Tak Bisa Ditunda
Koordinator Koalisi, Hamid Abidin, menyatakan pemberian booster tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, pelaksanaan prosedur kesehatan pun harus tetap ketat dan diawasi. Kewaspadaan perlu dijaga, sebab COVID-19 belum sepenuhnya hilang.
Hamid juga menekankan pemerintah perlu terus mendukung dan memfasilitasi masyarakat adat dan kelompok rentan di berbagai wilayah terpencil di luar Pulau Jawa. Masih cukup banyak dari mereka yang belum mendapatkan vaksin COVID-19 dosis pertama dan kedua. “Mereka tentu tidak bisa mendapatkan vaksin booster kalau belum dapat vaksin dosis 1 dan 2,” katanya. Vaksinasi penting dalam upaya perlindungan dari penularan dan kematian karena COVID-19. Seturut pernyataan Menteri Kesehatan, 84 persen korban meninggal karena COVID-19 belum menerima booster.
Jika dua kelompok rentan ini mendapat booster, Hamid yakin subvarian XBB dapat dihalau untuk menjalari wilayah terpencil atau menyerang kelompok rentan. “Sebab, selama ini untuk vaksin dosis umum dua kelompok ini masih tertinggal. Jika mereka kena subvarian baru, Indonesia akan makin lama bebas dari COVID-19,” ujarnya.
Vaksin booster dapat mendongkrak efektivitas vaksin I dan II karena daya kerja vaksin ganda itu dapat melemah seiring waktu. Melemahnya benteng perlindungan tubuh memerlukan intervensi booster agar antibodi kembali terbentuk secara optimal. Bila imunitas telah meningkat, tubuh pun akan lebih siap menghadapi virus.
Kaum Disabilitas
Menurut Maulani A Rotinsulu, Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), pemberian vaksin booster perlu digalakkan di kalangan penyandang disabilitas. Pasalnya, selama ini mereka tidak bisa mengakses vaksin secara aktif seperti masyarakat pada umumnya. Sebagai perbandingan saja, penerima booster pada masyarakat umum per 9 November adalah 65,58 juta atau 27,95 persen dari 234,66 juta sasaran. “Pemberian bisa dilakukan dengan jemput bola atau menggandeng komunitas penyandang disabilitas,” ujarnya.
Dengan melibatkan komunitas penyandang disabilitas, maka keluarga atau pemandu kaum difabel dapat ikut mengomunikasikan pentingnya menjalankan prosedur kesehatan di kalangan disabilitas. Pelibatan ini juga dapat mengambil bentuk penyebaran informasi tentang booster. Ini untuk merespons kenyataan bahwa kalangan disabilitas kesulitan mengakses informasi yang sesuai dengan kondisi mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang menganggap kondisinya sebagai komorbid sehingga merasa tidak perlu vaksinasi. Pelibatan komunitas diharapkan dapat meningkatkan literasi tentang vaksin dan COVID-19 di kalangan penyandang disabilitas.
Pada masyarakat adat atau di kawasan terpencil, literasi tentang vaksin juga masih lemah. Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), menjelaskan tidak semua orang di wilayah terpencil siap divaksinasi karena minimnya edukasi. Umumnya mereka belum paham tentang COVID-19 dan vaksinnya. “Mereka takut karena terpengaruh hoaks yang kadung tersebar,” ujar Gita. Untuk itu, LTKL bekerja sama dengan guru, tokoh adat atau agama, serta dinas terkait untuk membantu program vaksinasi.
Hidup Bersih
LTKL juga melakukan pendekatan yang selaras dengan kehidupan masyarakat adat. Misalnya saja, untuk meningkatkan imunitas dibutuhkan perilaku hidup bersih dan pangan cukup. “Kecukupan pangan yang bergizi ini bisa dipenuhi dari kebun yang sudah mereka tanam sendiri,” ujarnya.
Masalah lain adalah distribusi vaksin. Akses transportasi ke daerah terpencil tidak semudah yang dapat digapai di wilayah perkotaan dengan infrastrukturnya yang memadai. Memastikan vaksin tiba di lokasi tujuan merupakan masalah sendiri. Desa Empakan, Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, dapat menjadi contoh. Untuk mencapai desa tersebut, tim vaksinasi dari kabupaten harus menggunakan perahu untuk menempuh perjalanan sungai hingga 2 jam.
Capaian LTKL adalah membantu memberikan vaksin kepada masyarakat adat di tujuh kabupaten sebanyak delapan ribu dosis. Tujuh kabupaten itu: Banyuasin (Sumatra Selatan), Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Sigi (Sulawesi Tengah), serta Gorontalo dan Bone Bolango (Gorontalo).
Epidemiolog dan peneliti dari Universitas Griffith, Australia, dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH, menjelaskan subvarian XBB membahayakan karena menginfeksi masyarakat ketika kondisi mereka sedang rawan. Konteksnya adalah kondisi sebagian besar penduduk yang belum memperoleh booster. Apalagi, anak-anak berusia di bawah 6 tahun belum boleh divaksin sama sekali. “Vaksin booster masih menjadi PR karena belum terlaksana memadai, mentok di 27 persen. Ini berbahaya. Terutama risiko pada kelompok-kelompok rawan,” kata Dicky.
Dia menilai booster harus digenjot. Sebab, subvarian XBB muncul di tengah modal imunitas yang semakin tergerus.
Baca juga:
- Novavak Sebut Vaksin Omicron Tunjukkan Respons Kekebalan yang Kuat untuk Booster Kedua
- Dear Penikmat Konser, Pj Gubernur Heru Bakal Perketat Acara Musik Imbas Kasus COVID-19 Jakarta
- Kuat Ma'ruf dan Susi Satu Suara Tak Tahu Soal Pelecehan Putri Candrawathi di Magelang
- KPK Pastikan Pengembangan Kasus Suap Penanganan Perkara di MA Sesuai Bukti
Dia menduga naiknya angka kematian kemungkinan besar dipicu kasus XBB. Subvarian ini memiliki kemampuan menulari dan menerobos pertahanan tubuh yang telah terbentuk oleh vaksinasi maupun infeksi sebelumnya.
Kekhawatirannya bertambah karena subvarian XBB ini menyerang kalangan muda, bahkan yang sempat tertular COVID-19 hingga dua kali. Kalau sudah begitu, kondisi mereka lebih rawan karena sudah seperti komorbid atau lansia yang daya tahan tubuhnya berkurang. “Ketika modal imunitas yang dicapai dengan booster terlambat dilakukan, kemungkinan angka kematian bisa lebih tinggi,” ujarnya.
Untuk itu, Dicky berpesan pemerintah dan masyarakat perlu waspada. Metode 3 T harus kembali digalakkan: testing (menemukan kasus infeksi), tracing (menelusuri kasus), dan treatment (menindaklanjuti yang tertular). Masyarakat juga harus kembali menjalankan prosedur kesehatan secara ketat.
Alhasil, jika ingin pandemi cepat selesai, perlu penanganan konsisten serta respons setara bagi semua daerah. Jika tidak demikian, virus niscaya leluasa menginfeksi dan cepat beradaptasi dengan penanganan yang telah dilakukan. “Karena adanya subvarian XBB ini akan sangat bergantung pada seberapa besar cakupan vaksinasi (booster) yang protektif di masyarakat,” ujarnya. “Tapi, jika tetap abai dan prosedur kesehatan malah melonggar dan modal imunitas tak tercapai, akhir pandemi bisa mundur. Bahkan bisa saja muncul hal buruk, lahirnya varian lain,” kata dia.