Menyoal Siaran TV Digital: Mulai Penjelasan Kominfo hingga Analisis Netray
JAKARTA – Migrasi sistem penyiaran televisi dari analog ke digital memiliki manfaat bagi masyarakat, lembaga penyiaran, maupun negara. Dengan beralih ke TV digital, masyarakat akan menikmati kualitas siaran TV yang lebih baik dengan gambar yang lebih bersih, kualitas suara yang lebih jernih, dan teknologi yang lebih canggih.
Selain itu, masyarakat juga mendapatkan konten siaran yang semakin beragam dan tanpa biaya. Kiranya inilah yang dipaparkan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Usman Kansong dalam keterangan resminya di laman Kominfo.
“Siaran TV Digital bersifat free-to-air dan bukan TV berlangganan, jadi masyarakat tidak perlu berlangganan ataupun menggunakan kuota paket data internet,” jelasnya.
Adapun untuk lembaga penyiaran, migrasi sistem analog ke digital akan membuat industri penyiaran menjadi lebih siap bersaing di era konvergensi melalui adopsi teknologi baru dan pemanfaatan multi kanal siaran. Investasi juga akan lebih efisien dalam jangka panjang, sejalan dengan potensi pemanfaatan infrastruktur bersama di era TV digital.
Sedangkan untuk negara, dampak dari beralihnya sistem analog ke digital akan menghasilkan penggunaan spektrum frekuensi 700 MHz yang lebih efisien.
“Peralihan menghasilkan digital dividen pemanfaatan spektrum frekuensi radio yang dapat digunakan untuk mewujudkan internet cepat yang lebih merata, efek berganda di sektor ekonomi digital, dan memberikan tambahan pemasukan APBN dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)," Usman memaparkan.
Kemkominfo resmi menghentikan siaran TV analog di 230 kabupaten/kota pada 2 November 2022 pada pukul 24.00 WIB. Meski sosialisasi dan uji coba sudah dilakukan sejak April lalu, tetap saja masih banyak masyarakat yang menyesalkan.
Apalagi, ketika mengetahui butuh biaya tambahan untuk menonton TV dengan membeli antena digital dan set top box.
“Kalau TV nya sudah smart, ya tidak perlu lagi beli set top box. Kalau belum, bisa keluar duit 300 ribuan. Jadi, kesannya sama saja. Bantuan langsung tunai yang dikasih kemarin, dipakai buat modal nonton TV,” ucap Momon, warga Depok, Kamis (9/11).
Dia memang mengetahui ada fasilitas gratis peralatan tambahan tersebut untuk rumah tangga miskin, “Tetapi saya enggak paham cara daftar pengajuannya. Kalau mesti nelepon kena biaya lagi. Ya sudahlah ”
Padahal, selain menghubungi call center 159, masyarakat juga bisa mengajukan bantuan STB secara mandiri melalui situsweb cekbantuanstb.kominfo.go.id dengan mengajukan lewat email ke alamat yang tertera.
Sentimen Negatif
Tak hanya menjadi obrolan warung kopi, perpindahan siaran analog ke digital juga sempat menjadi permbincangan hangat di Twitter. Media Monitoring Netray memantaunya dengan menggunakan kata kunci tv && analog dan tv && digital untuk melihat seperti apa tanggapan warganet terhadap kebijakan yang baru diresmikan pemerintah ini.
Netray menemukan 12.010 twit yang mencatut kata kunci tersebut. Didominasi oleh twit bersentimen negatif sebanyak 4.326 atau 36 persen. Sementara, twit dengan sentimen positif ada 1.544 twit atau 12,8 persen.
“Sebanyak 2,9 juta impresi tercatat dalam pantauan para periode 1-4 November 2022. Bahkan, topik perubahan sinyal TV mampu menjangkau 129,3 juta akun,” tulis Netray.
Intensitas perbincangan memuncak pada 3 November 2022, usai Kominfo resmi menyetop siaran TV analog. Total twit dalam satu hari ini saja mencapai 8.371 twit yang mayoritas bersentimen netral.
Sentimen netral yang banyak mengisi perbincangan ini berasal dari twit-twit yang meminta pendapat terkait perubahan ini. Salah satunya twit dari akun @convomfs yang juga merupakan akun nomor satu di jajaran Top Accounts by Popularity.
Dalam twitnya, @convomfs menanyakan pendapat warganet menanggapi pemutusan siaran sinyal analog di Indonesia. Seperti mendapat wadah, twit ini mendapat perhatian warganet lainnya dengan perolehan 8.286 impresi dengan rincian 422 komentar dan like yang melebihi tujuh ribu.
Twit bersentimen negatif antara lain mengeluhkan persebaran sinyal digital yang belum merata. Seperti yang diutarakan Ervien Margio, “TV digital emang gambarnya lebih jernih, tapi kalo sinyal digitalnya jelek, susah dapet channelnya dan gambarnya suka nge-lag. Masih mending analog.”
Selain itu, banyak juga warganet yang menganggap perubahan siaran bukan memudahkan atau menguntungkan masyarakat, tetapi justru semakin mempersulit, khususnya untuk lapisan masyarakat tertentu. Penangkapan sinyal digital pada tv analog yang membutuhkan alat khusus menjadi salah satu alasan mengapa kebijakan ini menyulitkan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
“Hiburan org tua di rumah cuma TV doang, segala pake aturan pindah ke digital. Kalau hanya alasan biar nonton dgn kualitas jernih, gak perlu pindah ke digital pun masih bisa ditonton kok. Udah susah, makin2 aja dibikin susah,” tulis akun @teguhbdhardi masih dilansir dari Netray.
Kebijakan baru yang belum dibarengi dengan pembaharuan keterjangkauan sinyal digital ternyata menciptakan keresahan baru di tengah publik. Terlebih lagi, jumlah penikmat TV di Indonesia menurut BPS masih di kisaran 86,86 persen.
Menurut survey Indikator, 36,1 persen masyarakat menggunakan TV sebagai media yang dikonsumsi sehari-hari dengan rincian 45,7 persen menonton hiburan, seperti sinetron dan siaran olahraga.
“Keterjangkauan sinyal yang masih belum maksimal dan tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti kebijakan pembaharuan siaran tv digital ini menyulitkan sebagian masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang akan kehilangan hiburan apabila tidak mengikuti kebijakan baru ini,” Netray menutup laporannya.
Baca juga:
- Rivalitas Hammam dan Blatter Hingga Isu Suap di Balik Pemilihan Qatar Sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022
- Mengenal Stadion Al Bayt, Arena Laga Pembuka Piala Dunia 2022 Qatar
- Menjelang KTT G20 di Bali: Menanti Kehadiran Vladimir Putin
- Penganugerahan Pahlawan Nasional: Lima Tokoh yang Diberi Gelar, Tidak Ada Satupun yang Memiliki Jejak Rekam Maritim