Rivalitas Hammam dan Blatter Hingga Isu Suap di Balik Pemilihan Qatar Sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022
JAKARTA - Rivalitas Mohammad bin Hammam dan Sepp Blatter dalam kontestasi pemilihan Presiden FIFA pada 2011 menyisakan cerita panjang. Hammam kala itu menjabat sebagai Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia. Sedangkan Sepp Blatter adalah petahana yang sudah tiga kali menjabat sebagai Presiden FIFA.
Namun, secara mengejutkan, Hammam mengundurkan diri dari pencalonan. Sejumlah pihak menduga langkah Hammam terkait tuduhan suap yang dilayangkan kepadanya.
Komisi Etik FIFA memanggil Hammam atas tuduhan telah melakukan suap kepada pejabat sepakbola di Afrika untuk membeli voting menyukseskan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Namun, Hammam tidak ingin keputusannya itu dikaitkan dengan pemeriksaan Komisi Etik FIFA.
"Saya mengambil keputusan pencalonan menjadi katua FIFA karena ingin komit melakukan perubahan di FIFA. Tetapi beberapa hal belakangan ini membuat hati saya luka dan kecewa," kata Hammam seperti dilansir Antara.
"Saya sedih melihat kenyataan sekarang dan ini merupakan harga mahal, adanya degradasi reputasi FIFA. Ini bukan sesuatu yang ada dalam pikiran saya untuk FIFA dan ini tidak dapat diterima. Dengan alasan inilah saya umumkan mundur dari rencana mengikuti pemilihan ketua," Hammam menegaskan.
Hammam pun berjanji akan membuktikan bahwa tuduhan tersebut tidak beralasan. Menurut dia, apa yang dilakukannya adalah memberi hadiah, bukan suap.
“Saling memberi hadiah adalah hal yang biasa dilakukan di FIFA dan bertukar hadiah dengan pengurus FIFA seharusnya tidak dikategorikan sebagai upaya melakukan suap," kata Hammam kepada Sky Sport.
Terkait itu, otoritas Qatar juga bereaksi keras. Menurut mereka, Hammam tidak pernah punya peran resmi dalam mendukung penawaran sebagai tuan rumah dan selalu bertindak independen dari kampanye Qatar sebagai tuan rumah. “Aksi itu dilakukan Hammam dalam upaya menjadi Presiden FIFA. Tidak terkait dalam upaya Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia.”
Komisi Etik FIFA menjatuhkan sanksi tidak boleh berkecimpung dalam dunia sepakbola seumur hidup. Hammam kemudian mengajukan banding. Pengadilan Arbitrase Olah Raga (CAS) menganggap bukti-bukti yang dituduhkan kepada Hammam kurang mencukupi.
“Panel memutuskan bukti yang ada tidak cukup kuat dan membuat mayoritas anggota Panel tidak bisa mengabulkan tuduhan pemohon,” pungkas pernyataan tersebut.
Pengunduran diri Hammam dari bursa pencalonan tentu memuluskan langkah Sepp Blatter kembali menjadi Presiden FIFA untuk periode keempat.
Giliran Blatter
Kendati demikian, kasus tersebut kemudian memunculkan isu-isu negatif terhadap FIFA. Empat tahun berselang, giliran Sepp Blatter yang terlibat skandal korupsi.
Skandal itu menodai euforia kemenangan Blatter sebagai Presiden FIFA untuk kali kelima pada 29 Mei 2015. Sejumlah pihak menganggap Blatter tak pantas lagi menduduki posisi tersebut karena tidak berhasil membawa perubahan di tubuh FIFA.
Blatter dituduh telah melakukan transaksi ilegal senilai 2.06 juta franc Swiss pada 2011 untuk merekrut Michael Platini sebagai penasihat tekniknya guna menjadi suksesor dalam pemilihan Presiden FIFA melawan Muhammad bin Hammam. Platini kala itu memang memiliki pengaruh kuat sebagai Presiden UEFA.
Namun, Blatter berdalih nominal uang yang dibayarkan ke Platini merupakan uang jasa. Gaji 300 ribu franc Swiss yang diberikan kepada Platini hanyalah bagian dari jumlah riil pendapatan yang mesti diterima Platini. FIFA tidak bisa membayar penuh kepada Platini kala itu karena persoalan finansial.
“Sehingga, sisa gaji Platini sebesar satu juta euro per tahun akan dibayarkan kemudian hari,” kata Blatter dikutip dari Reuters.
Atas tuduhan itu, tak sampai satu pekan, pada 2 Juni 2015, Blatter resmi mengundurkan diri. Dia bersama Platini bahkan mendapat hukuman tidak boleh berkecimpung lagi dalam dunia sepak bola selama 8 tahun.
Proses hukum terus berjalan. Hingga pada 8 Juli 2022, Pengadilan Federal di Bellinzona, Swiss menyatakan Blatter dan Platini bebas dari tuduhan suap.
Platini, seperti diberitakan Sky Sport, mengatakan skandal tersebut adalah upaya yang disengaja untuk menggagalkan usahanya menjadi Presiden FIFA pada 2015.
"Saya ingin mengungkapkan kebahagiaan saya untuk semua orang yang saya cintai bahwa keadilan akhirnya ditegakkan setelah tujuh tahun kebohongan dan manipulasi," ucap Platini usai keputusan.
Harusnya Amerika Serikat
Komite Eksekutif FIFA, pada Desember 2010, menetapkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Padahal, negara Timur Tengah ini memiliki iklim panas yang menyulitkan pertandingan.
Dalam wawancara dengan surat kabar Swiss Tages-Anzeiger belum lama ini, Blatter menganggapnya sebagai kesalahan.
“Saat itu, kami sebenarnya sepakat di komite eksekutif bahwa Rusia harus mendapatkan Piala Dunia 2018 dan Amerika Serikat pada 2022. Akan menjadi isyarat perdamaian jika dua lawan politik lama menjadi tuan rumah Piala Dunia satu demi satu,” katanya.
"Ini negara yang terlalu kecil. Sepak bola dan Piala Dunia terlalu besar untuk itu," Blatter melanjutkan seperti diberitakan Sky Sport.
Baca juga:
- Analisis Netray: Media Sosial Bakal Jadi Komoditas Politik pada Pemilu 2024, Waspada Kampanye Hitam dan Politik Identitas
- Menjelang KTT G20 di Bali: Menanti Kehadiran Vladimir Putin
- Penganugerahan Pahlawan Nasional: Lima Tokoh yang Diberi Gelar, Tidak Ada Satupun yang Memiliki Jejak Rekam Maritim
- Analisis Netray Soal Kasus Waroeng SS: Perbincangan Warganet Didominasi Sentimen Negatif
Terlebih dalam tahap persiapan penyelenggaraannya sempat muncul isu tak sedap. Kekhawatiran tentang penderitaan pekerja migran bergaji rendah untuk membangun infrastruktur dan undang-undang diskriminatif yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis menjadi topik yang ramai diperbincangkan.
Namun, kini, penyelenggaraan Piala Dunia 2022 tinggal 11 hari lagi. Blatter tak menampik bahwa dia ikut bertanggung jawab atas turnamen yang berlangsung di sana.