Investasi China Banjiri Indonesia, Ketakutan Eks-Wakil Ketua KPK hingga Tidak Setujunya Faisal Basri
JAKARTA - Di tengah pandemi COVID-19, posisi China sebagai salah satu negara investor terbesar bagi Indonesia menjadi semakin kuat. Selama Januari hingga September 2020, China telah merealisasikan investasinya di Indonesia sebesar 3,5 miliar dolar AS.
Realisasi investasi tersebut berhasil menempatkan China di posisi kedua investasi asing terbesar di Indonesia. Kondisi ini perlu menjadi perhatian. Sebab, China merupakan negara dengan tingkat pembayaran tidak benar tertinggi di dunia.
Karena fakta tersebut, mantan Wakil Ketua KPK jilid IV Laode M Syarif mengaku khawatir jika China menjadi negara terbesar yang berinvestasi di Tanah Air.
"Saya sebenarnya takut sedikit, Sebenarnya bukan sedikit tapi takut banyak. Ketika China akan menjadi investor nomor satu di Indonesia," katanya, dalam diskusi virtual, Selasa, 8 Desember.
Berdasarkan data yang dimilikinya, China merupakan negara peringkat satu dalam hal improper payment. Sementara Indonesia berada di peringkat 6 dalam survei masalah US-Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) sepanjang 2011-2020.
"Kalau kita melihat US-FCPA, lokasi improper payment, nomor satu itu China. Disusul Brasil, India, Mexico, Russia, lalu Indonesia. Saya takut when Chinese become the biggest investor in Indonesia," ujarnya.
Aliran Investasi China Ngeri-Ngeri Sedap
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membenarkan data tersebut. Aliran investasi China paling berani dan nekat. Berbeda dengan negara lain, seperti Jepang yang lebih banyak pertimbangan dalam berinvestasi.
"Bahwa benar ada data ini. China ini negara yang ngeri-ngeri sedap juga. Aku jujur saja lah," katanya.
Ia mencontohkan nikel. Hampir semua smelternya berasal dari China.
Tapi memang, ia mengakui, China paling berani dibanding negara lainnya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam investasi di sektor tambang.
"Kalau Jepang itu terlalu banyak penelitiannya, negara lain juga. Debatnya minta ampun. Agak nekat ya investor dari China. Mereka kerja dulu baru mikir," jelasnya.
Selain itu, tidak semua investor China taat aturan. Karenanya, pemerintah berupaya mengikat investor China dengan perjanjian berusaha yang jelas agar tidak menimbulkan kerugian masing-masing pihak.
"Sekarang tugas kita adalah bagaimana saat mereka (China) investasi, kita harus ikat mereka dalam perjanjian yang clear and clean agar tidak menimbulkan hal-hal yang berpotensi pada kerugian," ucapnya.
Investasi Jepang Lebih Menguntungkan dibanding China
Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan Indonesia sebaiknya tak bergantung dengan investasi dari China. Ia menilai, pemerintah lebih baik berharap pada investasi dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari Jepang.
Baca juga:
Menurut Faisal, UMKM dari Jepang tak akan membawa banyak buruh dari negaranya. Ini bertolak belakang dengan kebiasaan investor China yang kerap membawa tenaga kerja dari negaranya.
"UMKM Jepang tidak akan bawa (buruh). Jadi 100 persen buruh Indonesia," tuturnya, di Jakarta, Kamis, 26 November.
Selain itu, UMKM Jepang juga berpotensi mencari mitra dari UMKM di Indonesia. Pasalnya, UMKM Jepang tak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan dari mitra Indonesia.
"Pemerintah bangun basis data, jadi kalau UMKM Jepang ini cari mitra bisa langsung tunjukkan dan bangun kawasan industri untuk UMKM," ucapnya.
Selain itu, Faisal menyebut masuknya UMKM dari Jepang juga bisa membantu meningkatkan kualitas UMKM domestik. Dengan begitu, industri UMKM Indonesia bisa lebih baik ke depannya.
Lebih lanjut, Faisal juga mengingatkan agar pemerintah tak terus menanti investasi dari China demi mendongkrak penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Sebab, investasi dari China banyak yang bermasalah.
"Untuk apa menunggu dari China, lebih baik muntahan dari Jepang karena China ini investasinya bermasalah. Itu smelter, pabrik semen, parah," katanya.