Kominfo Tingkatkan Pemahaman Tentang Kebebasan Berekspresi Lewat ASEAN Talk

JAKARTA - Koordinator Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Kementerian Kominfo, Filmon Warouw mengatakan, kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang diakui negara. 

“Sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945 Amandemen ke-II, yaitu dalam Pasal 28 E ayat 2 dan 3,” jelasnya pada Webinar Series #5 ASEAN Talk: “ASEAN, HAM, dan kebebasan Berekspresi” di Batam, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, 24 Oktober. 

Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diharapkan dapat menjaga ruang digital menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif.

Ia mengungkapkan, tantangan dalam menjaga kebebasan berpendapat ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, namun negara-negara anggota ASEAN lainnya juga turut mengalami hal serupa. 

“ASEAN sebenarnya telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 18 November 2012 lalu yang pada Pasal 23 dalam deklarasi tersebut mengatur tentang hak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi," terangnya. 

Namun, Filmon menambahkan, praktik atau implementasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di beberapa negara anggota ASEAN memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

Ia juga berharap jika acara Webinar Series ASEAN Talk ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terkait hak dasar mengemukakan pendapat secara bijak serta memahami kondisi terkini terkait kebebasan berekspresi dalam skala yang lebih luas di kawasan ASEAN.

Webinar ini dibuka oleh Rektor Universitas Internasional Batam, Iskandar Itan, yang mengatakan bahwa negara harus hadir dalam melindungi warganya yang terdampak oleh hal-hal negatif yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi. 

Mengawali sesi pertama, Deputi Direktur Bidang Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri, Irwansyah Mukhlis mengatakan, meski Indonesia sudah memiliki jaminan dari kebebasan berekspresi, namun juga perlu pembatasan yang sesuai dengan konteks nasional.

Ia berpendapat kebebasan berekspresi sudah dijamin baik secara online dan offline. Bahkan menurutnya, kebebasan berekspresi offline harus diterapkan pula di online. 

Di dunia internasional sendiri sudah mulai dibentuk dua resolusi yaitu resolusi promotion di internet dan Rights to Privacy in Digital Age. 

“Kita memajukan yang namanya kebebasan berekspresi tidak hanya di dalam negeri tapi juga di level ASEAN. Kita melakukannya melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan  ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). ” ungkapnya.

Pada sesi selanjutnya, Ketua Tim Hukum dan Kerja Sama, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Josua Sitompul mengatakan bahwa kebebasan berekspresi bersifat subjektif dan merupakan topik yang bisa menjadi permasalahan kontroversial.

“Banyak bentuk dalam kebebasan berekspresi seperti verbal dan perbuatan. Selain itu, kebebasan berekspresi juga termasuk ke dalam beberapa aspek seperti freedom of speech, mencari informasi, menerima informasi, kebebasan memeluk dan menjalankan ibadah, serta kebebasan dalam berasosiasi,” kata Josua.

Josua menambahkan, legalitas konten harus diperiksa dari sisi konteks konten itu sendiri. "Misalnya siapa pembuat konten itu apakah orang tua, anak-anak, remaja, atau aparat penegak hukum," jelasnya lebih lanjut. 

Selain itu ada pula sisi hubungan antara pembuat konten dan penerima konten, apa latar belakang munculnya konten yang dipermasalahkan, bagaimana konsekuensi yang timbul, serta media apa yang digunakan.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dianalisa dalam sebuah konten dan dapat dikatakan legal jika gaya bahasa, seni, fakta serta pendapat semuanya sesuai dan secara keseluruhan ini harus dianalisa secara totalitas.

Mendukung pernyataan dari pembicara sebelumnya, Dosen Senior Hukum, Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam, Rina Shahriyani Shahrullah, juga menjelaskan kalau negara memiliki tanggung jawab utama untuk memajukan (promote), melindungi (protect), menghormati (respect), dan memenuhi (fulfill) HAM. 

“Posisi negara sangatlah penting, tapi bukan berarti bahwa negara adalah satu-satunya yang memiliki tanggung jawab terhadap HAM. Karena individu, organisasi maupun bisnis memiliki tanggung hawab untuk menghormati dan tidak melanggar HAM,” jelasnya.

Ia juga mengungkapkan ada beberapa tantangan dalam penegakan HAM ASEAN seperti prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara dalam the ASEAN Way, perbedaan sistem pemerintahan dan sistem hukum dan juga  tidak adanya hukum formal dan peradilan HAM dalam pengambilan keputusan berdasarkan konsensus.