JAKARTA - Bicara soal kebebasan berpendapat dan berkekspresi, pendiri republik ini sudah mencantumkannya dalam konstitusi negara, melalui UUD 1954. Persoalan ini dipertegas dalam UU no 39 tahun 1999 mengenaik Hak Asasi Manusia (HAM).
Perkembangan teknologi informasi dan semakin riuhnya ruang siber menjadi tantangan bagi Indonesia serta negara ASEAN lainnya dalam menjaga dan menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Kemkominfo, Bambang Gunawan, ketika membuka Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (FIRTUAL) dengan tema “ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi” baru-baru ini, menegaskan dalam sambutannya bahwa ASEAN telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 18 November 2012, yang pada pasal 23 menjelaskan mengenai hak setiap individu dalam kebebasan berekspresi, berpendapat, hingga mencari, menerima, dan memberikan informasi, namun masih ditemukan praktik yang berbeda di negara-negara anggota ASEAN.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum, Prof. Henry Subiakto, menambahkan, “UU ITE lahir dari semangat demokrasi namun praktiknya sering terjadi kesalahpahaman, baik penegak hukum maupun masyarakat.”
Beliau menjelaskan bahwa UU ITE sebenarnya hanya melarang dua hal; kejahatan terhadap IT dan menggunakan IT, namun kejahatan menggunakan IT memiliki jangkauan luas, distribusi cepat, dan memiliki dampak yang masif sehingga hukumannya lebih berat.
Pasalnya, dijelaskan Direktur Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN, dari Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat mengatakan bahwa pengaturan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah sama dari satu negara ke negara lainnya, hal ini tentu dibatasi oleh UU yang berlaku di negara masing-masing.
“Indonesia berperan aktif dalam memajukan kebebasan berekspresi dan berpendapat di ASEAN, karena Indonesia menempatkan hal ini menjadi satu prioritas dengan membuka forum dialog dengan negara anggota ASEAN lainnya”, tambahnya.
BACA JUGA:
Melalui kegiatan AICHR Regional Consultations on Freedom of Expression, Opinion and Information (FOEI) in ASEAN yang diselenggarakan di Bali tahun 2019 menghasilkan beberapa rekomendasi seperti review kebijakan, inisatif dan mekanisme ASEAN terhadap FOEI termasuk dalam bidang cybersecurity.
Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Yuyun Wahyuningrum turut menjelaskan batasan antara ujaran kebencian dengan kebebasan berpendapat. Menurutnya, ujaran kebencian di ASEAN meningkat terutama ketika masa pandemi salah satunya munculnya asian hates.
“Membedakan ujaran kebencian dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah mudah, dibutuhkan analisis mendalam,” tutur Yuyun. Walaupun sudah diatur di hukum internasional, ujaran kebencian susah didefinisikan secara mudah. “Beberapa negara di ASEAN merespon hal ini dengan memakai UU lama maupun baru, seperti KUHP di Indonesia yang digunakan untuk meredam ujaran kebencian”, tambahnya.
Adapun faktor-faktor yang menghambat kebebasan berekspresi di ASEAN, menurut Akademisi Hubungan Internasional UI, Dwi Ardhanariswari, adalah adanya ASEAN ways dan values yang membatasi negara lain untuk berpendapat atau memberi masukan mengenai kedaulatan negara terutama dalam hal HAM.
Menurutnya, level demokrasi berbeda di tiap negara anggota ASEAN, hal ini juga membuat fasilitas atau hak-hak kebebasan berpendapat di setiap negara berbeda-beda. Masih banyak beberapa negara membatasi kebebasan berbicara dan hal ini yang menjadi representasi kebijakan negara terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dalam urusan kebebasan berpendapat dan berekspresi, Indonesia sudah memulainya sejak setelah abad silam. “Indonesia harus bisa menjadi contoh dan juga mampu membuka dialog untuk membantu negara-negara lain dalam hal HAM dan kebebasan berekspresi di kawasan negara masing-masing, kita harus secara konstan menyerukan ide-ide yang positif dan appropriate melalui ruang-ruang digital mengenai kebebasan berekspresi dan membawa perubahan”, tutup Yuyun Wahyuningrum.