Rupiah Terdepresiasi, Korporasi Wajib Hati-Hati Tarik Utang dalam Mata Uang Asing

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyebut sampai dengan 19 Oktober 2022 nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 8,03 persen secara year to date (ytd).

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan kondisi ini mengharuskan sektor korporasi atau swasta mesti berhati-hati dalam melakukan penarikan utang luar negeri (ULN) dalam bentuk valuta asing (valas).

Terlebih jika pendapatan usaha yang diterima dalam bentuk rupiah.

Menurut dia, sikap prudent korporasi sudah terlihat mulai Juni 2022 yang lalu. Kata dia, jumlah ULN swasta adalah sekitar 209 miliar dolar AS.

Angka tersebut kemudian konsisten menurun menjadi 206 miliar dolar AS pada Juli dan kembali melandai jadi 204 miliar dolar AS di Agustus.

“Artinya dari korporasi mereka lebih berhati-hati dalam melakukan penarikan utang luar negeri,” ujarnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, dikutip pada Jumat, 21 Oktober.

Destry menambahkan, skema pembayaran ULN swasta tergolong cukup baik karena memiliki sifat long term.

“Kalau dilihat dari komposisi, utang luar negeri ini umumnya jangka menengah-panjang dengan persentase sebanyak 75 persen. Sementara itu untuk yang berjangka waktu di bawah satu tahun relatif sangat sedikit,” tutur dia.

Lebih lanjut, bos BI itu menilai, struktur ULN swasta tetap aman serta tidak terlalu terdampak tren kenaikan rate interest.

“Suku bunga mereka cenderung tetap karena ditetapkan sebelum terjadi perubahan Fed Fund Rate di awal tahun ini,” tegas Destry.

Berdasarkan informasi resmi yang dirilis oleh bank sentral, diketahui bahwa dominasi utang luar negeri swasta masuk ke sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan dengan pangsa mencapai 77,5 persen dari total ULN swasta.