Kemenkes Soal PBB Keluarkan Ganja dari Zat Paling Bahaya: Perlu Kajian Mendalam

JAKARTA - Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara bulat menghapus ganja dari daftar obat paling berbahaya di dunia. Pengakuan PBB ini jadi awal penting melegitimasi manfaat ganja bagi kesehatan.

Lalu, adakah kemungkinan Indonesia bakal menerapkan pemanfaatan ganja sebagai obat? Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan, Siti Khalimah, menyebut bukan berarti Indonesia menuruti PBB soal penggunaan ganja sebagai obat.

Kata Siti, Kemenkes perlu melakukan kajian mendalam untuk bisa melepas ganja dari golongan narkotika berbahaya. Penelitan dan pengembangan Kemenkes ini berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional, Kementerian Pertanian, dan sejumlah ahli.

"Soal ganja sebagai medis perlu kajian mendalam dan komprehensif. Kajiannya dari sisi penelitian sebagai evidence based dan kajian klinis yang dilakukan oleh para ahli serta pemangku kebijakan," kata Siti kepada VOI, Jumat, 4 Desember.

Siti juga meminta publik untuk tidak sekadar melihat ganja dalam pemanfaatan medis. Jika dilegalkan, penggunaan ganja menurutnya merupakan langkah awal bagi penyalahgunaan zat atau narkoba lain yang lebih berbahaya

"Penggunaan ini juga mesti dilihat dari efek negatifnya. Lebih baik menghindari kemudharatan. Jadi, sebaiknya kita jaga generasi muda kita dengan tidak mencoba-coba ganja walaupun hanya recreational use," jelas dia.

Sebagai informasi, Komisi Narkotika PBB sepakat menghapus tanaman ganja dan getah ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotia 1961 yang dianggap paling bahaya. Hal ini membawa asa bagi kalangan aktivis penggiat pemanfaatan ganja medis untuk mendorong perubahan peraturan narkotika di Indonesia.

Sebelumnya, ganja dan turunannya ditempatkan pada golongan I dan golongan IV. Seperti diketahui, narkotika golongan IV dianggap paling berbahaya. Karenanya, narkotika pada golongan ini termasuk ganja dikontrol paling ketat jika dibandingkan dengan narkotika golongan I sampai III.