OPEC+ Pangkas Produksi Migas, Ini Dampaknya Bagi Indonesia
JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) buka suara terkait keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pemangkasan produksi ini berdampak secara langsung terhadap harga minyak dunia yang dipastikan tidak akan mengalami penurunan.
"Harga oil dan gas relatif berada di level tinggi jadi harusnya turun ke 80 dan mungkin ke 60 dolar per barel, tapi kemudian ditahan dan akan naik ke 90," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin 17 Oktober.
Namun demikian, hal ini justru dapat mendatangkan potensi investasi di sektor hulu migas Indonesia.
Dengan adanya pemangkasan, nantinya akan mendatangkan investor untuk berinvestasi sehingga dapat mendongkrak harga keekonomian minyak produksi dalam negeri.
Selain itu, posisi Indonesia yang merupakan 'teman' dari Amerika Serikat dan Arab Saudi tidak akan memberatkan dan tidak akan menyeret Indonesia dalam konflik tersebut.
"Kalau buat Indonesia di hulu migas dia akan bagus, karena dengan demikian motivasi orang untuk berinvestasi akan baik, karena keekonomiannya lebih bagus," imbuh Dwi.
Dengan adanya peluang investasi tersebut, Dwi mengatakan, harus disambut dengan perbaikan iklim investasi dalam negeri agar dapat menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Baca juga:
- SKK Migas Sikapi Kenaikan Harga Minyak Dunia Sebagai Peluang Naikkan Produksi
- SKK Migas Laporkan Realisasi Investasi Triwulan III Capai 7,7 Miliar Dolar AS
- Siapa Pemilik Jaringan SPBU Vivo? Perusahaan Raksasa Migas yang Berbasis di Belanda
- Neraca Perdagangan RI September 2022 Alami Surplus 4,99 Miliar Dolar AS, Ini Pendorongnya
Meski mendatangkan peluang bagi sektor hulu, posisi Indonesia sebagai net importir minyak justru akan mendapat dampak negatif sebab harga minyak dunia yang tinggi akan meningkatkan biaya impor minyak maupun BBM Indonesia sehingga akan menambah beban subsidi BBM.
"Tentu saja menjadi costly, karena dengan harga crude yang lebih mahal. Di level manakah keseimbangan benefit yang diperoleh dari upstream dengan cost yang muncul untuk subsidi," pungkas Dwi.