Tantangan Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono Mengatasi Banjir dan Macet: Mampukah Dia?

JAKARTA - Masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta hanya tinggal menghitung hari. Dalam beberapa kesempatan, Anies pun sudah menyampaikan salam perpisahan kepada warganya.

Seperti ketika menghadiri kegiatan warga di Kota Tua pada 9 Oktober 2022. Anies meminta maaf kepada warga atas semua kekurangan dan kekhilafannya semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta.

“Masa tugas kami akan tuntas. Kami mohon pamit dari Jakarta, pamit dari Pemprov DKI,” ucap Anies.

Selama memimpin Ibu Kota, Anies sudah berupaya menunaikan janji-janji politiknya secara bertahap. Dia pun meminta restu untuk kesempatan selanjutnya.  

In sha Allah, saya bisa menjalankan amanat-amanat baru sebaik-baiknya,” Anies menambahkan.

Pengganti Anies sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta adalah Heru Budi Hartono yang sejak 2017 menjabat kepala Sekretariat Presiden, Kementerian Sekretariat Negara. Heru bukanlah sosok asing di Pemprov DKI.

Masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta akan resmi berakhir pada 17 Oktober 2022. (Facebook Anies Baswedan)

Berbagai jabatan telah didudukinya semasa menjadi ASN Pemprov DKI. Heru antara lain sempat menjabat Staf Khusus Wali Kota Jakarta Utara, Kepala Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri, Wali Kota Jakarta Utara, hingga Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah.

"Saya kan sudah kenal Pak Heru lama sekali, sejak jadi apa, wali kota di DKI. Kemudian waktu memegang badan keuangan saya tahu betul rekam jejak secara bekerja, kapasitas, kemampuan, saya tahu semuanya," kata Presiden Jokowi.

Heru, menurut Jokowi, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan siapa pun.

"Sehingga kami harapkan nanti ada percepatan-percepatan, termasuk yang berkaitan dengan tata ruang," ujar Jokowi lagi.

Hal utama tentu persoalan banjir dan kemacetan. Jokowi menekankan harus ada progres yang signifikan.

Mengatasi Banjir

Permasalahan banjir di Jakarta, dalam beberapa literatur diketahui sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, ketika itu, penjajah tidak mau mengeluarkan dana besar untuk mengatasinya.

Dari catatan sejarah, Mohammad Husni Thamrin lah yang ‘memaksa’ Belanda mengeluarkan banyak duit untuk menangani banjir dengan menggagas Proyek Bandjir Kanaal pada 1919. Kini dikenang sebagai Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur.

Upaya itu berhasil, Batavia (sebutan Jakarta tempo dulu) untuk sementara waktu mampu terbebas dari banjir. Sebelum akhirnya Belanda tak lagi meneruskan proyek yang digagas oleh Thamrin dan Van Breen tersebut. 

Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan, banjir di Jakarta saat ini terjadi karena tiga hal: banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir rob.

“Banjir kiriman terjadi karena luapan air sungai. Mengatasinya tentu harus melakukan pembenahan sungai,” katanya kepada VOI, Senin (10/10).

Dokumentasi banjir di Jakarta. Merendam kawasan Kampung Pulo dan Bukit Duri pada 2020. (Antara/Nova Wahyudi)

Secara geografis, Ibu Kota Jakarta dilalui oleh 13 sungai, yakni Sungai Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Mookevart, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung.

Sejumlah sungai juga mengalami penyempitan. Saat ini, menurut Nirwono, lebar sungai hanya 15-20 meter, berkurang jauh dari tahun 1950an yang mencapai 50 meter.

Bahkan menurut Kepala Seksi Pemeliharaan Drainase Suku Dinas Sumber Daya Air (Sudin SDA) Jakarta Selatan, Junjung, lebar sungai seperti Kali Krukut dan Kali Grogol sudah berkurang jauh dan hanya tersisa 4-7 meter.

Dari realitas itulah, Pemprov DKI Jakarta harus berani dan bersungguh-sungguh mengatasi banjir. Sungai harus diperluas, 35 meter sudah cukup ideal jika 50 meter tidak dapat terealisasi.

“Pemprov harus merelokasi pemukiman warga yang ada di bantaran sungai. Serta, rutin melakukan pengerukan sungai,” kata Nirwono.

Langkah itu tentunya juga harus didukung dengan revitalisasi Situ Danau Embung Waduk (SDEW) sebagai daerah tangkapan air dan memperluas Ruang Terbuka Hijau sebagai daerah resapan air.

Sedangkan banjir lokal, lanjut Nirwono, terjadi karena buruknya sistem drainase kota seperti yang terjadi di Jalan TB Simatupang, Jalan Fatmawati, dan di Jalan Kemang Raya.

“Rehabilitasi seluruh drainase dilakukan dengan memperbesar dimensi eksisting, misal dari 50cm ke 1,5m, 1m ke 3m, 1,5m ke 5m dan terhubung ke SDEW dan RTH terdekat,” lanjut Nirwono.

Banjir yang merendam kawasan elite Kemang di Jakarta Selatan pada 1 Januari 2020. (Antara/Sigid Kurniawan)

Yang menjadi catatan juga, banyak drainase yang dibangun oleh pengembang perumahan tidak terhubung dengan drainase premier, sekunder, dan tersier.

Saluran primer adalah sungai, sekunder adalah saluran air di badan jalan atau penghubung sungai, sedangkan tersier adalah saluran yang berasal dari lingkungan tempat tinggal penduduk.

“Saluran drainase juga harus dirawat rutin agar bebas dari sampah, limbah, dan lumpur, serta ditata ulang jaringan utilitas terpisah dan terpadu dengan revitalisasi trotoar," ucapnya.

Adapun banjir rob biasa terjadi di pesisir utara Jakarta karena luapan air laut. Mengatasinya, kata Nirwono, Pemprov DKI harus merestorasi kawasan pesisir dengan membebaskan pantai 500 meter ke arah daratan.

Serta, merelokasi pemukiman pantai ke rusunawa terdekat dari pantai dan membentuk kembali hutan mangrove sebagai benteng alami meredam banjir rob.

“Mencegah ancaman tenggelam, mencegah abrasi pantai, dan meredam terjangan tsunami,” kata Nirwono lagi.

Mengatasi Kemacetan

Pemerintah sebenarnya sudah membuat sejumlah program mengatasi kemacetan di Jakarta. Seperti kebijakan ganjil genap, bahkan tidak hanya 13 ruas jalan, Pemprov DKI Jakarta pada Juni 2022 sudah memperlebar jangkauan kebijakan ganjil genap di 25 ruas jalan.

Selain itu, Polda Metro Jaya juga mengusulkan pengaturan jam kerja agar kepadatan kendaraan pada pagi hari bisa terurai.

Tak hanya memindahkan kendaraan, Pemprov DKI sejauh ini pun sudah berupaya untuk membuat warga beralih ke transportasi massal. Antara lain dengan menambah armada Bus Transjakarta yang dialokasikan untuk membuka rute di daerah penyangga seperti Depok, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. Serta, menghadirkan transportasi massal baru, MRT dan LRT.

Namun, hasilnya hingga saat ini memang belum maksimal. Tentu, kenyamanan dan biaya menjadi faktor utama yang membuat warga belum mau beralih ke transportasi massal.

Kemacetan di Jalan Ciledug Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada April 2022 setelah banyak kantor memberlakukan kembali work from office.(Antara/Hafidz Mubarak A).

Contoh untuk pengguna sepeda motor, ongkos naik angkutan umum lebih mahal karena transportasi yang tersedia tidak terintegrasi ke daerah-daerah tertentu.

“Misal, dari Depok mau ke Jalan Tanah Abang 3, ongkos naik kereta memang hanya Rp10 ribu. Namun, ongkos dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke lokasi yang dituju akan lebih besar dibanding ongkos bensin sepeda motor. Tidak hemat biaya dan waktu,” kata Adit, warga Depok yang bekerja di Bapenda, Tanah Abang.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah pun menilai warga menengah ke atas yang biasanya mengandalkan mobil belum tentu mau berjubel-jubel di dalam Transjakarta atau kereta.

“Ini masalah watak,” kata Trubus.

Banjir dan kemacetan memang sudah menjadi hal lumrah di Jakarta.

“Kelihatannya sepele, tetapi kalau tidak bisa mengatasinya, siapapun gubernurnya tidak akan dianggap berhasil,” imbuh Nirwono Yoga.