KPK Belum Juga Jerat Eks Sekretaris MA Nurhadi dengan Pasal Pencucian Uang
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sering mengatakan akan menjerat mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Nyatanya, hal itu belum terlaksana sampai saat ini.
Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengklaim, pihaknya akan segera menjerat Nurhadi dengan Pasal TPPU. Namun, dia belum bisa menyebut kapan waktunya.
"Kami memastikan akan segera menerapkan pasal TPPU dalam perkara ini setelah dari hasil pengumpulan bukti kemudian disimpulkan, ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup," kata dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 2 Desember.
Lebih lanjut, dia mengatakan TPPU bakal diterapkan bila ada bukti permulaan yang cukup dugaan seperti adanya perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi ke aset yang bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan, surat berharga, dan lainnya.
Sehingga, komisi antirasuah ini masih terus melakukan telaah dalam perkara yang menyeret Nurhadi tersebut. "Kami akan segera informasikan perkembangannya," tegasnya.
Baca juga:
Diberitakan sebelumnya, sejumlah pihak seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru mendesak KPK menerapkan TPPU terhadap Nurhadi. Desakan ini muncul karena dari data yang mereka himpun, Nurhadi memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tak sesuai jika dilihat dari penghasilan resmi seorang Sekretaris Mahkamah Agung.
Dalam data tersebut, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi seperti tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah; empat lahan usaha kelapa sawit; delapan badan hukum baik berbentuk PT ataupun UD; 12 mobil mewah; dan 12 jam tangan mewah.
Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya disebutkan jabatan Sekretaris Mahkamah Agung sebagai eselon 1 mendapat tunjangan khusus sebesar Rp32.865.000. Sementara gaji pokok pejabat eselon I sekitar Rp19 juta.
"Sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya.
Dengan adanya fakta tersebut, Kurnia menegaskan KPK harusnya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja. Harusnya, sambung dia, lembaga antirasuah memulai penyelidikan untuk masuk dalam kemungkinan menjerat Nurhadi dengan tindak pencucian uang.
"Tidak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," tegas dia.