Data Kesehatan Provinsi Hubei yang Bocor Tunjukkan Lemahnya Penanganan Awal COVID-19 di China
JAKARTA - Desember menandai tepat 12 bulan sejak pasien pertama di Wuhan, China menunjukkan gejala penyakit yang tidak diketahui apa penyebabnya. Korban tewas mulai berjatuhan dan jumlah orang yang terinfeksi virus, yang sekarang dikenal di dunia sebagai COVID-19 dan berdampak pada kehidupan di seluruh dunia saat ini.
Pada 10 Februari 2020, Presiden China Xi Jinping, yang selama berminggu-minggu absen dari pandangan publik berbicara kepada staf rumah sakit di Kota Wuhan yang tengah berjuang menahan penyebaran virus corona baru yang belum disebutkan namanya secara resmi. Xi Jinping mendesak komunikasi publik yang lebih besar, karena kekhawatiran di seluruh dunia meningkat tentang potensi ancaman yang ditimbulkan oleh penyakit baru itu.
Pada hari yang sama, otoritas China melaporkan 2.478 kasus baru yang dikonfirmasi, meningkatkan jumlah total global menjadi lebih dari 40 ribu, dengan kurang dari empat ratus kasus terjadi di luar China daratan. Namun, terdapat sebuah dokumen resmi yang beredar secara internal menunjukkan bahwa data tersebut bukan data sesungguhnya.
Mengutip CNN, Rabu, 2 Desember, dalam sebuah laporan yang bertanda "dokumen internal, harap dirahasiakan", otoritas kesehatan di Provinsi Hubei, tempat virus pertama kali terdeteksi, mencantumkan total 5.918 kasus baru yang terdeteksi pada 10 Februari, lebih dari dua kali lipat dari jumlah yang disampaikan pada publik. Angka yang lebih besar ini tidak pernah terungkap sepenuhnya pada saat itu, karena sistem penghitungan China dan meremehkan tingkat keparahan wabah.
Angka yang sebelumnya dirahasiakan merupakan salah satu dari berbagai hal yang dilaporkan dalam 117 halaman dokumen yang bocor dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Hubei. Secara keseluruhan, dokumen tersebut merupakan kebocoran paling signifikan dari China sejak awal pandemi dan memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang diketahui secara internal oleh otoritas lokal.
Pemerintah China kerap menolak tuduhan yang dibuat oleh Amerika Serikat (AS) dan pemerintah negara Barat lainnya yang mengatakan bahwa China sengaja menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan COVID-19. Namun, dokumen tersebut tidak memberikan bukti adanya upaya untuk mengaburkan temuan, dokumen tersebut mengungkapkan banyak ketidakkonsistenan terhadap hal yang diyakini pihak berwenang dan apa yang diungkapkan kepada publik.
Dokumen tersebut juga mengungkapkan sistem perawatan kesehatan yang tidak fleksibel yang dibatasi oleh birokrasi dan prosedur kaku yang tidak memadai untuk menangani krisis. Pada beberapa momen kritis di fase awal pandemi, dokumen menunjukkan bukti salah langkah yang jelas dan menunjukkan pola kegagalan institusional.
Salah satu poin data yang lebih mencolok menyangkut kelambatan diagnosa COVID-19 lokal. Meskipun pihak berwenang di Hubei mempresentasikan penanganan wabah awal kepada publik secara efisien dan transparan, dokumen menunjukkan bahwa pejabat kesehatan setempat mengandalkan mekanisme pengujian dan pelaporan yang cacat. Sebuah laporan dalam dokumen dari awal Maret mengatakan waktu rata-rata antara timbulnya gejala hingga diagnosa yang dikonfirmasi adalah 23,3 hari, yang menurut para ahli secara signifikan menghambat langkah-langkah untuk memantau dan memerangi penyakit tersebut.
China dengan gigih membela penanganan wabahnya. Pada konferensi pers pada 7 Juni, Dewan Negara China merilis Buku Putih yang mengatakan bahwa pemerintah China selalu menerbitkan informasi terkait epidemi secara tepat waktu, terbuka dan transparan.
"Sambil berusaha sekuat tenaga untuk membendung virus, China juga bertindak dengan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kemanusiaan, rakyatnya, keturunannya, dan komunitas internasional. China telah memberikan informasi tentang Covid-19 secara profesional dan efisien secara menyeluruh. China telah merilis informasi otoritatif dan rinci sedini secara teratur, sehingga secara efektif menanggapi perhatian publik dan membangun konsensus publik," dikutip dari Buku Putih.
"Epidemi" influenza, seperti yang dicatat para pejabat dalam dokumen itu, tidak hanya terjadi di Wuhan pada Desember 2019. Penyakit tersebut sudah menyerang kota-kota tetangga seperti Yichang dan Xianning. Masih belum jelas apa dampak atau hubungan lonjakan influenza itu pada wabah COVID-19. Meskipun tidak ada catatan dalam dokumen bahwa kedua krisis paralel tersebut terkait, informasi mengenai besarnya lonjakan influenza di Hubei tidak dipublikasikan.
Baca juga:
Sejauh ini, akses para ahli internasional ke catatan medis rumah sakit dan data mentah di Provinsi Hubei telah dibatasi. WHO mengatakan pada pekan lalu bahwa mereka mendapat "jaminan dari kolega pemerintah China bahwa perjalanan ke lapangan" akan diberikan sebagai bagian penyelidikan mereka.
Selain itu, dokumen tersebut juga menunjukkan pengujian tidak akurat sejak awal yang menyebabkan penundaan sistem pelaporan selama berminggu-minggu dalam mendiagnosa kasus baru. Hal tersebut memberi dampak sebagian besar angka harian yang ditanggapi pemerintah berisiko tidak akurat.
Tingkat negatif palsu yang tinggi mengungkap serangkaian masalah yang membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk diperbaiki China. Menurut laporan di media pemerintah China pada awal Februari, ahli kesehatan Hubei frustrasi dengan ketidaakuratan tes asam nukleat. Tes asam nukleat bekerja dengan mendeteksi kode genetik virus dan dianggap lebih efektif dalam mendeteksi infeksi, terutama pada tahap awal.
Kurangnya kesiapan China terhadap COVID-19 tercermin di seluruh dokumen, bagian-bagiannya sangat penting dalam penilaian internal terhadap dukungan pemerintah untuk operasi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Hubei.