Dua Pimpinan DKI Kena COVID-19, Perlukah Rem Darurat?
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan dirinya terkonfirmasi positif COVID-19 pada tes swab hari Senin, 30 Desember. Anies menduga dirinya tertular COVID-19 dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria yang lebih dulu terinfeksi virus corona.
Sementara, Riza terdeteksi tertular COVID-19 per hari Jumat, 27 November dari staf pribadinya yang lebih dulu tertular lewat klaster keluarga.
"Setelah mendengar kabar pak wagub positif, sementara kita ada interaksi yang cukup dekat, maka sesuai dengan protokol kesehatan saya kembali melakukan tes," kata Anies dalam keterangannya, Selasa, 1 Desember.
Anies menjalani swab antigen pada Minggu, 29 November sebagai tracing dari kasus positif Riza dan hasilnya negatif. Lalu, hari Senin, 30 November Anies kembali menjalani swab PCR sebagai konfirmasi atas hasil antigen sebelumnya.
"Ternyata, malamnya dini hari saya dapat kabar kalau hasilnya positif, hasil tes PCR saya positif COVID-19," ucap Anies.
Baca juga:
Melihat kedua pimpinan DKI yang selama ini diklaim menerapkan protokol kesehatan dan akhirnya turut tertular virus corona, apa saat ini DKI perlu kembali menararik rem darurat dengan PSBB yang ketat seperti sebelumnya?
Menanggapi hal ini, ahli epodemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono menganggap bahwa kondisi pimpinan daerah yang tertular COVID-19 tak bisa menjadi indikator untuk menarik rem darurat.
"Indikator penentuan rem darurat bukan karena gubernur dan wakil gubernurnya positif COVID-19. Rem darurat itu ditarik kalau kapasitas pelayanan kesehatan seperti perawatan dan tempat tidur isolasinya penuh, kemudian kasus COVID-nya meningkat tajam," tutur Miko kepada VOI, Rabu, 2 Desember.
Kata Miko, kasus positif yang menerpa kedua pimpinan DKI ini merupakan sinyal bahwa ada ketimpangan penelusuran kontak COVID-19 yang tidak merata.
Anies dan Riza masuk dalam kategori positif COVID-19 tanpa gejala (OTG). Mereka dilakukan tracing secara rutun sebagai pimpinan daerah padahal tak memiliki gejala COVID-19.
Sayangnya, upaya tracing ini tidak dilakukan kepada seluruh warga. Bukan di DKI saja, namun juga di seluruh provinsi se-Indonesia.
"Bulan April lalu, contact tracing-nya bisa capai 20 sampai 30 orang dari satu kasus positif. Sekarang cuma 2 sampai 10 orang. itu kan turun jauh. Harusnya, tracing ini yang perlu diperbaiki. Bukan di DKI saja ya, di seluruh provinsi se-Indonesia." jelas Miko.
"Harus dilakukan contact tracing yang benar, bukan hanya pada yang bergejala. Tujuan contact tracing adalah untuk melihat pola penyebaran penyakitnya, bukan orang sakitnya. Kalau tidak terbaca pola penularannya, memutusnya rantai penularannya akan susah," tambahnya.